Inilah berita kesekian kali tentang artis yang
terpuruk karena ulah sendiri, yakni terkontaminasi narkoba. Berita
baru-baru ini adalah Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan
penggerebekan di rumah milik artis di Lebak Bulus, Jakarta Selatan,
Minggu (27/1/2013) pagi. Hasilnya, mereka digiring ke BNN, Cawang,
Jakarta Timur (Kompas.com/27/1/2013). Berita itu akan terus beruntun
manakala artis tidak mampu mempertahankan disiplin diri sebagai artis.
Mereka tahu dan paham bahwa narkoba itu terlarang. Mereka teramat mengerti bahwa narkoba itu merusak dan menyebabkan badan meringkuk di tahanan. Namun, mereka tidak kuat secara mental dan hati untuk menolak narkoba karena dorongan egoisitas diri. Egoisitasnya dipenuhi oleh perasaan, “saya punya duit’; “banyak kawan yang memakai”; “tidak ada yang tahu saya pakai ini’; “artis lain juga pakai”; dan seterusnya. Pertahanan diri artis jebol karena nafsu keartisan muncul. Pikiran positifnya hilang di akal, yang ada adalah pikiran negatif yang menjadi “positif” baginya. Lalu, siapa gurunya?
Guru mereka bukan sosok manusia yang sehari-hari di kelas. Guru mereka adalah diri sendiri yang melenggang untuk membimbing di jalur negatif. Ladang belajarnya adalah kenikmatan dan keakuan sebagai artis. Lalu, sumber belajarnya adalah para bandar yang lebih canggih siasatnya yang melebihi batas nalar sang artis. Itulah guru sejati mereka.
Di kelas, guru tidak habis-habisnya memberikan petuah bagi muridnya. Namun, petuah itu dipakai saat akan menjadi artis. Saat tenar, sang artis melupakan buku petuah dari gurunya. Mereka membuka buku lain, yakni buku ketenaran, kenikmatan, dan kemabukan yang berlawanan isinya dengan buku asli dari guru saat di kelas dulu.
Masa sekolah di alam keartisan lebih lama dibandingkan masa sekolah di bangku kelas. Wajar pula, apabila, sang artis melupakan petuah guru kelas. Mereka mendapatkan guru baru yang berwarna-warni namun membingkai keingkaran diri sejatinya. Guru warna-wartni itu bermuara satu, yakni kenikmatan karena alam artis yang melimpahkan duit di atas tilam empuk.
Bagaimanapun, guru kelas, meskipun hanya sedikit waktu menyentuh diri sang artis, jika dimanfaatkan dengan baik akan memberikan keuntungan diri yang luar biasa. Artis yang demikian itu biasanya berada dalam rel normatif buku petuah guru di kelas sekolah. Modalnya adalah disiplin, berani, dan setia. Disiplin diri meski guncangan pengaruh begitu kuat, berani menolak sesuatu yang menyimpang bagi nalar diri, kawan, dan lingkungan, dan setia terhadap rambu alam dan bermasyarakat.
Guru artis yang terjerat narkoba adalah guru biadab yang perlu dihapus dari perjalanan bangsa. Mereka bukan sosok manusia melainkan sosok budaya keblinger. Caranya dengan aturan yang ketat, saling mengingatkan, menerapkan pendidikan kemasyarakatan, dan selalu menghormati petuah guru sebenarnya. (Tulisan Garduguru di Kompasiana dengan 639 pengunjung)
Mereka tahu dan paham bahwa narkoba itu terlarang. Mereka teramat mengerti bahwa narkoba itu merusak dan menyebabkan badan meringkuk di tahanan. Namun, mereka tidak kuat secara mental dan hati untuk menolak narkoba karena dorongan egoisitas diri. Egoisitasnya dipenuhi oleh perasaan, “saya punya duit’; “banyak kawan yang memakai”; “tidak ada yang tahu saya pakai ini’; “artis lain juga pakai”; dan seterusnya. Pertahanan diri artis jebol karena nafsu keartisan muncul. Pikiran positifnya hilang di akal, yang ada adalah pikiran negatif yang menjadi “positif” baginya. Lalu, siapa gurunya?
Guru mereka bukan sosok manusia yang sehari-hari di kelas. Guru mereka adalah diri sendiri yang melenggang untuk membimbing di jalur negatif. Ladang belajarnya adalah kenikmatan dan keakuan sebagai artis. Lalu, sumber belajarnya adalah para bandar yang lebih canggih siasatnya yang melebihi batas nalar sang artis. Itulah guru sejati mereka.
Di kelas, guru tidak habis-habisnya memberikan petuah bagi muridnya. Namun, petuah itu dipakai saat akan menjadi artis. Saat tenar, sang artis melupakan buku petuah dari gurunya. Mereka membuka buku lain, yakni buku ketenaran, kenikmatan, dan kemabukan yang berlawanan isinya dengan buku asli dari guru saat di kelas dulu.
Masa sekolah di alam keartisan lebih lama dibandingkan masa sekolah di bangku kelas. Wajar pula, apabila, sang artis melupakan petuah guru kelas. Mereka mendapatkan guru baru yang berwarna-warni namun membingkai keingkaran diri sejatinya. Guru warna-wartni itu bermuara satu, yakni kenikmatan karena alam artis yang melimpahkan duit di atas tilam empuk.
Bagaimanapun, guru kelas, meskipun hanya sedikit waktu menyentuh diri sang artis, jika dimanfaatkan dengan baik akan memberikan keuntungan diri yang luar biasa. Artis yang demikian itu biasanya berada dalam rel normatif buku petuah guru di kelas sekolah. Modalnya adalah disiplin, berani, dan setia. Disiplin diri meski guncangan pengaruh begitu kuat, berani menolak sesuatu yang menyimpang bagi nalar diri, kawan, dan lingkungan, dan setia terhadap rambu alam dan bermasyarakat.
Guru artis yang terjerat narkoba adalah guru biadab yang perlu dihapus dari perjalanan bangsa. Mereka bukan sosok manusia melainkan sosok budaya keblinger. Caranya dengan aturan yang ketat, saling mengingatkan, menerapkan pendidikan kemasyarakatan, dan selalu menghormati petuah guru sebenarnya. (Tulisan Garduguru di Kompasiana dengan 639 pengunjung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar