Sabtu, 13 Februari 2010

PAUD: Bermainlah Jangan Memberikan Pelajaran

Munculnya beragam sarana belajar prasekolah membuat orangtua seakan berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sana. Sayangnya tidak semua tempat tersebut memberi pengajaran sesuai dengan usia dan kemampuan anak. Dikhawatirkan, hal ini bisa mengganggu perkembangan anak itu sendiri.

Usia 0-5 tahun dianggap sebagai masa kritis bagi anak. Masa tersebut sering diistilahkan sebagai golden years atau tahun emas bagi anak. Ini berarti bila pada usia tersebut diajarkan suatu nilai atau perilaku, ajaran tersebut akan lebih mudah diterima dan diserap oleh sang anak.

Tak heran kalau banyak orangtua kemudian mulai menyekolahkan anaknya sedari dini. Ketatnya persaingan untuk bisa masuk sekolah unggulan membuat orangtua merasa perlu mempersiapkan pendidikan yang lebih bagi anaknya.

Hal ini tidak sepenuhnya salah. “Hanya, prinsip mengikuti perkembangan anak tetap harus dipegang. Dengan begitu, orangtua tahu materi apa yang perlu diajarkan sesuai dengan usianya,” ujar Dra. Ike R. Sugianto, Psi., psikolog anak dari Klinik Anakku Jakarta.

Proses belajar bagi anak usia prasekolah, 0-6 tahun bukan dikategorikan sebagai belajar sesungguhnya yang meliputi membaca, menghitung, dan menulis. Bagi anak seusia tersebut, metode pengajaran harus dalam kerangka bermain.

Meski begitu, merangsang dan memperkenalkan pengetahuan dan keterampilan baru tetap bisa dilakukan. Anak bisa diperkenalkan pada olahraga hingga seni.

Lewat Permainan
Menstimulasi anak dengan pengetahuan sedari dini pun sebaiknya dilakukan tanpa paksaan. Cara mengajar yang benar, seperti lewat beragam permainan dan disesuaikan dengan kemampuan serta perkembangannya, akan membuat anak suka dan malah haus belajar.

Namun, kerap tidak disadari bahwa proses belajar yang tidak mengikuti perkembangan akan berdampak tidak baik bagi anak. Sebaliknya, bila pada masa itu anak mendapat stimulasi yang baik, perkembangannya pun akan menjadi baik. Stimulasi di usia dini dibutuhkan guna merangsang seluruh aspek yang ada pada anak. Maksudnya supaya talenta yang ada pada anak bisa dioptimalkan.

Salah satu bentuk rangsangan tersebut adalah lewat permainan. Menurut Dra. Mayke S. Tedjasaputra, MSi., psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan UI, bermain merupakan dunia kerja anak usia 0-6 tahun yang tergolong dalam early childhood atau anak usia dini.

Bermain termasuk rangsangan utama dalam perkembangan anak. Dengan bermain, secara tidak langsung anak belajar sesuatu. Bermain sambil belajar ini sesungguhnya bisa dilakukan sendiri oleh orangtua di rumah. Namun, karena keterbatasan pengetahuan dan waktu, orangtua lantas mengalihkannya ke sebuah lembaga.

“Jadi, kalau ditanya apakah sekolah itu bagus bagi anak usia dini atau tidak, saya akan bilang bagus. Tentu saja selama metodenya benar,” ujar Ike.

Maksudnya, cara-cara yang diajarkan untuk anak berusia tiga tahun harus berbeda dengan yang berumur 5 tahun. Tidak boleh disamaratakan. Sebab, bila pendekatan yang diberikan sudah salah, anak tidak dapat berkembang dengan baik.

Harus Berjenjang
Pola stimulasi yang dilakukan terhadap anak juga harus dibedakan berdasarkan usia. Misalnya saja untuk belajar menulis. Sebelum menulis, anak harus dipersiapkan terlebih dahulu.

Caranya adalah dengan memberi rangsangan bagi anak usia 0-3 tahun agar koordinasi tangan menjadi lebih bagus. Hal ini bisa dilakukan dengan misalnya mengajak bermain lilin, memindahkan kancing, atau menyendok pasir.

Kemudian pada usia 3-4 tahun, anak mulai belajar memegang pensil. Anak usia ini juga bisa diajarkan untuk menyambung dua titik. “Tidak bisa misalnya anak berusia dua atau tiga tahun tiba-tiba sudah dipaksa untuk menulis. Bila hal ini terjadi, anak bisa stres dan akhirnya takut menulis,” kata Ike.

Itu sebabnya, Ike mengingatkan pentingnya stimulasi seluruh aspek yang ada pada anak secara berjenjang. Untuk bisa membaca dan menulis dibutuhkan banyak komponen, seperti koordinasi motorik halus dan kemampuan persepsi visual.

Obsesi orangtua yang menginginkan anaknya pintar membaca, menulis, dan berhitung juga mengambil porsi kesalahan dalam pendidikan prasekolah. Menilik alasannya, orangtua berharap agar anaknya sudah siap saat harus masuk sekolah dasar. Apalagi, saat ini banyak sekolah dasar yang melakukan tes masuk.

Tentu saja hal ini tidak tepat. Menurut Cara Djalil, Kepala Sekolah Kisdports Pondok Indah, Jakarta, biarlah proses belajar yang menyangkut membaca, menulis, dan berhitung dilakukan saat anak masuk sekolah dasar.

Belum Ada Kurikulum
Inti dari pendidikan prasekolah memang bermain dan bukan belajar. Dalam permainan itu tentu bisa saja disisipkan pembelajaran. Contohnya, saat anak bermain pasar-pasaran, tanpa disadari mereka mempelajari proses jual beli. Tidak hanya itu, mereka juga belajar mengenal sayur, buah, atau barang-barang yang ada di pasar, selain tentunya belajar berkomunikasi.

Sayangnya, sejauh ini menurut Ike, belum ada kurikulum nasional untuk masa prasekolah. Kondisi tersebut pula yang membuat kurikulum di setiap sekolah usia dini berbeda-beda. Tak sedikit dijumpai adanya tambahan bahasa asing seperti bahasa Inggris dan Mandarin bagi anak-anak prasekolah. Padahal, pemberian bahasa kedua bagi anak usia 0-7 tahun tidak sepenuhnya tepat.

“Saya tetap berpatokan bahwa bahasa ibu harus dikuasai terlebih dahulu. Setelah itu baru bisa mempelajari bahasa lain. Dan hal ini berlaku bagi anak yang tidak mempunyai gangguan verbal atau bahasa,” papar Ike. Dikhawatirkan ada anak-anak yang memiliki gangguan komunikasi, sehingga tidak bisa merangkai kata-kata dengan baik.

Banyak hal yang bisa didapat dari pendidikan prasekolah. Selain belajar bersosialisasi, anak juga belajar mengikuti instruksi secara massal serta melatih disiplin. Keadaan tersebut umumnya kadang tidak didapat dari pendidikan di rumah. Menurut lulusan Fakultas Psikologi UI ini, “Ya, kalau bisa dituntun secara detail dan disiplinnya pun diajarkan dengan baik di rumah, sebenarnya tidak ada masalah lagi.” @ Diana Yunita Sari

Tidak ada komentar: