Tokoh dalam film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi selalu digambarkan optimistis dalam segala hal di kehidupannya. Ujung-ujungnya, tokoh film itu encer otaknya. Rata-rata, orang yang bahagia saat ini karena dulunya sangat optimistis. Hal itu bukan muskil tetapi sebuah realitas. Andai guru mampu membingkai optimistis siswanya dengan baik sehingga mampu menatap mimpi masa depan dengan gembira tentu siswanya juga akan menuai keberhasilan.
Otak belakang yang jauh di belakang mata itu menjadi aktif ketika orang berpikir mengenai hal baik yang terjadi di masa depan. Semakin optimistis seseorang, area itu semakin cerah. Itu tampak dalam pemindaian otak sebagaimana dilaporkan ilmuwan dalam studi kecil yang dipublikasi secara online di The Journal Nature.
Bagian sama dari otak yang disebut rostral anterior cingulate cortex (rACC) kelihatan mengalami gangguan ketika orang depresi, demikian kata Elizabeth Phelps dari New York University dan Tali Sharot of University College London yang ikut dalam penelitian itu.
Para ahli dalam penelitian itu melakukan pemindaian MRI (Magnetic Resonance Imaging) terhadap 15 orang ketika mereka sedang memikirkan kemungkinan di masa depan. Ketika partisipan memikirkan soal kejadian baik, baik rACC maupun amigdala yang terlibat dalam respon emosi dan ketakutan diaktifkan. Namun, korelasi dengan optimisme terbesar ada pada cingulate cortex.
“Studi yang sama juga menemukan bahwa orang cenderung berpikir bahwa kejadian bahagia sudah dekat dan terlihat lebih jelas dibandingkan kejadian jelek, bahkan ketika mereka tidak punya alasan untuk mempercayainya,” sebut Phelps. Psikolog sudah lama menyebut itu sebagai bias optimisme, tetapi studi terbaru memberikan detail-detail baru. Ketika para peneliti meminta subjek untuk berpikir mengenai 80 kejadian berbeda di masa depan yang mungkin baik, buruk atau netral, mereka kesulitan berpikir negatif atau bahkan netral mengenai masa depan.
“Contohnya, ketika diminta memikirkan potongan rambut di masa depan, orang membayangkan potongan rambut terbaik dalam hidup mereka, bukannya potongan rambut biasa,” kata Phelps. “Studi itu dinilai masuk akal dan menarik bersama-sama bagian baru dan berbeda dari riset soal optimisme dan otak,” kata Dan Schacter, profesor psikologi dari Harvard University yang tak tergabung dalam penelitian itu.
Sebenarnya membiarkan otak untuk berpikir optimistis itu merupakan hal baik. “Sebab jika Anda pesimistis mengenai masa depan, Anda tidak akan termotivasi melakukan tindakan,” kata Phelps. Sudah saatnya, guru senantiasa berpikir positif dan membudayakan siswanya untuk optimistis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar