Jumat, 05 Februari 2010

IPDN Reformasi Pola Pendidikannya

Reformasi di internal IPDN terjadi setelah mencuatnya kabar tewasnya praja IPDN, Cliff Muntu, pada 2007 silam. Peristiwa ini menyentakkan publik, termasuk presiden ketika itu. Melalui rapat kabinet, kemudian diputuskan beberapa kebijakan mendasar, diantaranya merubah kurikulum IPDN dan menghentikan penerimaan praja baru selama setahun.

Kini Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) terus berbenah diri. Perbaikan kurikulum pengajaran disempurnakan untuk menghilangkan praktik kekerasan yang selama ini telah dianggap sarat dengan IPDN. Jadi, kini sudah ada kurikulum pengajarannya sendiri, begitu juga pengasuhan dan pelatihannya.

Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi, di Sumedang, Kamis (4/2/2010) menuturkan, kurikulum pengajaran di IPDN kini telah dirombak total dari tiga tahun sebelumnya. Hubungan antara aspek akademik serta pengasuhan yang dulunya saling mengintervensi, kini menjadi saling mengisi.

"Jadi, kini sudah ada kurikulum pengajarannya sendiri, begitu juga pengasuhan dan pelatihannya. Pola hubungannya konsentrat, saling mengisi satu sama lainnya. Dahulu kan hanya bersinggungan. Makanya sering terjadi bentrokan satu sama lain, saatnya kuliah malah bentrok dengan pengasuhan, dan lain sebagainya," paparnya.

Dengan pola kurikulum yang baru ini, aspek pengajaran, pengasuhan dan pelatihan ditempatkan sama-sama pentingnya. Dahulu, sebelum sistem kurikulum IPDN dirombak total, yang lebih mendominasi adalah pengasuhan. Aspek yang satu ini menguasai lebih separuh waktu praja di lingkungan kampus.

"Sekarang, pengasuhnya pun dari unsur profesional. Ada standar kompetensinya," ujarnya. Standar kompetensi yang sama juga diterapkan di unsur staf dosen dan pelatih. Dulu, mereka yang bekerja sebagai pengasuh pada umumnya adalah alumni jebolan IPDN yang tidak dibekali kompetensi khusus.

Menurut Nyoman, IPDN masih sangat dibutuhkan sebagai lembaga pendidikan kepamongprajaan yang menghasilkan para lulusan yang akan menjadi kader aparatur di dalam negeri, khususnya dalam konteks otonomi daerah.

"Di tingkat I, mereka (praja) dituntut mahir di dalam urusan pemerintahan tingkat desa. Tingkat II di Kecamatan. Tingkat III, paham tentang aspek pemerintahan dan manajemen. Lalu, di tingkat IV, yang terakhir, mahir di dalam urusan pemerintahan provinsi dan nasional serta menjadi problem solver (pemecah masalah) di dalam kaitannya dengan otda," papar Nyoman menjelaskan standar tingkatan kompetensi yang ingin dicapai dari tiap praja. (Sumber: Kompas.com)

Tidak ada komentar: