Sabtu, 21 Juni 2008

Asyiknya Ah!, Guru Membuat Media Pembelajaran Bersama-Sama

Oleh Suyatno

Diguntingnya gambar di majalah itu pelan-pelan oleh guru sambil mendengarkan suara musik lembut. Gambar itu lalu direkatkan di kertas karton agar tampak kokoh. "Siswaku akan aku ajak mendeskripsikan makna gambar berkaitan dengan kerusakan lingkungan", gumam guru itu. Guru lain ada yang membuat sate rumus, ada yang lengket di komputer terus untuk membuat powerpoint, ada yang berburu gambar di internet, dan ada yang memilah-pilah bola berwarna. Aduh asyiknya ah, guru-guru SMA Wachid Hasyim 2 Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu, 21 Juni 2008, di ruang multimedia. Mereka sangat asyik ibarat anak-anak menemukan dunianya.

Kesadaran menggunakan media dalam pembelajaran sebenarnya berlaku wajib karena siswa akan lebih mudah memahami, lebih konkret fakta yang dipikirkannya, dan dapat melakukan tindakan secara nyata. Media menjadi keperluan yang melekat dalam tugas guru. Siswa sangat senang belajar jika terbantu media yang disajikan oleh guru.

Konsep itulah yang juga ditangkap oleh guru-guru SMA Wachid Hasyim 2 dalam pelatihan pembuatan media pembelajaran kali ini. Mereka yakin bahwa prestasi siswa akan terdongkrak jika dibantu melalui media pembelajaran. Jadi, tidaklah mengherankan jika ada yang membuat media sambil duduk di lantai. Guru-guru tampak lincah menggunakan gunting untuk mengemas medianya.

Media pembelajaran yang baik selalu ditentukan oleh bermakna atau tidaknya, media yang disajikan baik bagi anak. Media yang baik selalu praktis, sesuai dengan perkembangan kejiwaan anak, aman, mudah digunakan, dan kaya informasi.

Saat Guru di Tengah Siswa yang Sudah Remaja


Oleh Suyatno

Saat mengajar, kadang guru kaget melihat siswanya tiba-tiba mengeluarkan bajunya dengan tanpa takut. Kadang pula, guru terkejut dengan siswa yang semula santun menjadi berteriak-teriak, rambut diacak-acak, dan celana ditulisi. Guru tersebut lalu menghukum siswa itu karena melanggar aturan sekolah. Si anak tidak malah kembali normal malah menjadi-jadi sikapnya. Guru malah tambah marah dan mengecap siswa itu nakal. Padahal, bisa jadi itu hanya sebuah gejolak masa remaja yang tidak bersifat tetap melainkan sesaat.

Siswa yang seperti itu justru normal karena mengikuti perkembangan pribadinya sesuai dengan masanya. Guru perlu memahami konsep remaja secara kuat dan masuklah ke dalam jiwa siswa dengan jiwa kesiswaan.

Siswa usia remaja biasanya memiliki jiwa petualangan yang identik ingin mencoba sesuatu yang baru yang orang lain tidak mengalaminya. baginya, yang penting berbeda dari orang lain dan dapat memberikan perhatian orang lain yang melihatnya. itulah masa menemukan identitas diri. Guru harus teramat paham akan masa petualangan ini.

Jiwa petualang bisa berkonotasi positif dan negatif. Secara negatif, siswa berada pada jiwa yang tidak mempunyai pegangan dan bergerak tanpa arah. Jiwa petualang membutuhkan masa depan yang jelas dan bermakna. Tugas guru adalah membimbingnya agar dapat "menemukan" masa depan yang jelas dan bermakna.

Ada empat hal yang dapat dilakukan yang akan membantu siswa remaja menentukan pilihan yang tepat untuk tindakannya. Pertama, menanamkan nilai moral agar pilihan yang dibuatnya berpagarkan tonggak-tonggak rohani. Kedua, mengajaknya bersandar pada Tuhan yang memberi kesempatan dan belajar menerima bagian yang Ia tentukan. Ketiga, memperbaiki kondisi lingkungannya—termasuk keluarga—agar dapat menciptakan diri yang positif. Keempat, mempersiapkannya untuk bisa mencapai tujuan hidupnya.

Masalah remaja memang kompleks namun itu tidak berarti tak teratasi. Setiap guru bisa terlibat dalam bagian tertentu dari permasalahannya dan setiap bagian yang telah dipulihkan akan membawa dampak positif pada bagian lainnya. Jadi, lakukanlah bagian guru masing-masing dengan iman, pengharapan, dan kasih.

Biasanya, remaja yang berpetualang itu menjadi sorotan bagi masyarakatnya dan tak jarang dianggap sebagai pengganggu kehidupan yang tenang. Banyak alasan mengapa masa remaja menjadi sorotan yang tidak lekang waktu. Psikologi sendiri memandang periode ini sebagai periode yang penuh gejolak dengan menamakan period of storm and stress. Arnett menarik tiga tantangan tipikal yang secara general biasa dihadapi oleh remaja; (1) konflik dengan orangtua, (2) perubahan mood yang cepat, dan (3) perilaku beresiko (dalam Laugesen, 2003)

Peran teman sebaya yang mulai ‘menggeser’ peran orangtua sebagai kelompok referensi tidak jarang membuat tegang hubungan remaja dan orangtua. Teman sebaya menjadi ukuran bahkan pedoman dalam remaja bersikap dan berperilaku. Meskipun demikian studi Stenberg menemukan bahwa teman sebaya memang memiliki peran yang penting bagi remaja, namun pengaruh teman sebaya cenderung pada hal-hal yang berhubungan dengan gaya berpakaian, musik dan sebagainya. Sementara untuk nilai-nilai fundamental, remaja cenderung tetap mengacu pada nilai yang dipegang orangtua termasuk dalam pemilihan teman sebaya, biasanya juga mereka yang memiliki nilai-nilai sejenis (dalam Perkins,2000).

Para guru harus berbesar hati dan membuka diri agar tidak tertipu oleh model rambut, mode pakaian, musik yang berdebum di kamar remaja, juga gaya bahasa yang tidak jarang membuat telinga terasa penuh. Kedekatanlah yang bisa membuka mata dan hati untuk melihat lebih jernih nilai-nilai yang sebenarnya dipegang remaja. Bukankah penemuan Stenberg menjadi angin segar dan harapan yang menggembirakan agar guru, orangtua atau keluarga tetap menjadi model utama. Hanya penampilan tentu tidak selalu sama, era digital bukankah membawa berjuta pilihan? Tidak hanya bagi remaja, tetapi juga orangtua.

Mood yang naik turun juga sering terdengar dari celetukan remaja, “Bete niiih..” Ada dua mekanisme di mana mood mempengaruhi memori guru. (1) Mood-dependent memory ,suatu informasi atau realita yang menimbulkan mood tertentu, atau (2) Mood congruence effects, kecenderungan untuk menyimpan atau mengingat informasi positif kala mood sedang baik, dan sebaliknya informasi negatif lebih tertangkap atau diingat ketika mood sedang jelek (Byrne & Baron, 2000). Bisa dibayangkan bagaimana perubahan mood yang cepat pada remaja terkait dengan kecemasan yang mungkin terbentuk.

Remaja juga mempunyai reputasi berani mengambil resiko paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Hal ini pula yang mendorong remaja berpotensi meningkatkan kecemasan karena kenekatannya sering mengiring pada suatu perilaku atau tindakan dengan hasil yang tidak pasti. Keinginan yang besar untuk mencoba banyak hal menjadi salah satu pemicu utama. Perilaku nekat dan hasil yang tidak selalu jelas diasumsikan Arnett membuka peluang besar untuk meningkatnya kecemasan pada remaja (dalam Laugesen, 2003)

Guru yang bertugas menghadapi siswa yang masih dalam gejolak perlu sabar, sadar, dan senang menghadapinya. Jadikanlah siswa sebagai kawan. Terbukalah atas segala keluhan siswa. Yakinlah masa gejolak itu akan lewat sejalan dengan pemikiran anak yang berkembang.

Jumat, 20 Juni 2008

Guru SMA Wachid Hasyim 2 Sepanjang Sidoarjo: Ternyata Membuat Modul itu Sangat Mudah


Oleh Suyatno

Ternyata, membuat modul itu sangat mudah. Itulah refleksi para guru SMA Wachid Hasyim 2 YPM Sepanjang Sidoarjo secara serentak saat mengikuti pelatihan pembuatan bahan ajar, Kamis s.d. Sabtu, 19--21 Juni 2008 di ruang multimedia sekolah itu. Mereka sebelumnya mempunyai anggapan bahwa membuat modul itu sangat sulit dan susah. Namun, setelah dibimbing dan difasilitasi garduguru, mereka membalikkan anggapan sulit itu. Pelatihan berlangsung dengan lancar, cair, dan bersahabat.

"Cara memfasilitasi sangat dekat dengan peserta dan model andragogi digunakan dengan baik", ujar Bu Kusumah, guru kimia. Garduguru menggunakan modul praktis untuk melatihkan sebuah modul dengan pendekatan praktik dan sugestif. Tiap peserta tidak terasa diajak ke alam pembuatan modul dengan cara sederana dan sangat mudah. Resepnya, pelatihan dirancang dengan cara induktif dan praktik nyata.

Hasilnya, selama dua hari, dihasilkan 43 modul dengan judul yang berbeda. Tiap guru membuat satru modul. Mereka asyik menggoreskan pena di kertas kosong dari pagi sampai pukul 16 sore. Ada juga yang langsung menuliskan modul ke dalam komputer atau laptop. Riang gembira tergambar dari kelas pelatihan modul.

"Saya orang yang tidak mampu menulis, namun setelah dibimbing dengan model khusus, saya sangat bisa membuat modul", ujar Aprilin Asiyanto di sela-sela pelatihan. Bahkan, banyak guru enggan pulang meskipun waktu habis karena modul yang ditulisnya belums elesai. Salutnya, peserta yang selesai juga tidak mau pulang sebelum kawannya menyerahkan modul itu.

Kepala sekolah SMA Wachid Hasyim 2 Sepanjang, Bu Nur, juga setia menunggui peserta. Kehadiran itu membuat peserta termotivasi penuh. "Modul ini akan ditindaklanjuti dengan validasi dan dicetak. Jadi, nanti banyak siswa yang belajar melalui modul", ujar Bu Nur sambil menunjuk modul yang telah selesai.

Pembaharuan pembelajaran telah dimulai di SMA ini. Mudah-mudahan dapat merembet ke sekolah lain. Bahan ajar yang baik adalah bahan ajar buatan guru di sekolah sendiri karena pasti sesuai dengan konteks siswanya. Modul itu harus dalam dan luas, disajikan dengan bahasa menarik, dan dikemas dengan baik.

Rabu, 18 Juni 2008

Cara Mudah Menjadi Guru Unggul


Oleh Suyatno

Setiap guru, di manapun tempat mendidiknya, pastilah menginginkan dirinya unggul. Minimal, dia akan tampak unggul di mata murid-muridnya. Guru adalah manusia juga yang mempunyai prestise untuk kelangsungan perannya. Keunggulan diraih oleh guru melalui berbagai upaya sehingga sang guru mampu memenuhi kebutuhan percaya diri.

Namun, banyak guru yang tidak pernah tahu jalan untuk menuju keunggulan karena tertutup oleh kebiasaan tetapnya yang telah menjadi gumpalan es yang susah untuk dicairkan. Meskipun, dalam hati nuraninya, guru mempunyai kesadaran untuk menjadi unggul. Berikut cara praktis menjadi unggul.

1. Kenali Potensi Diri
Setiap orang mempunyai potensi yang luar biasa dan berbeda dengan potensi yang dimiliki orang lain. Guru juga mempunyai potensi yang khas. Potensi itulah harta yang harus terus dijaga dan dikembangkan. Menurut Covey (penulis 8 habits, untuk menjadi unggul temukanlah suaramu, lalu ilhamilah orang lain menemukan suaranya! Jika orang menemukan lalu mengekspresikan suara jiwanya, ia akan bergemilang. Jika guru menolong setiap siswanya menemukan suaranya, keseluruhannya akan menjadi organisasi yang gemilang. Secara fenomenologis teramati bahwa semua orang ingin menjadi orang besar, paling tidak, bagian dari yang serba besar.

2. Dirimu adalah Seorang Profesional
Ingatlah, dirimu adalah profesional. Tiap orang, yang menjadi guru dapat disebut sebagai tenaga profesional. Setiap tindakan guru berarti harus dapat dipertanggungjawabkan, berdasarkan rasionalitas pembelajaran, bertumpu pada hasil belajar, dan berorientasi pada kejayaan muridnya. Ingatlah, kaum profesional dari pelbagai disiplin kerja sekarang sudah merambah ke seluruh dunia. Bagi mereka batas-batas negara tidak lagi relevan. Wawasan mereka sudah kosmopolitan. Mereka adalah warga dunia yang bisa memberikan kontribusi mereka di mana saja di muka Bumi. Mereka bisa bekerja di mana saja di planet ini.

3. Membangun Mentalitas Mutu
Guru unggul selalu menampilkan kinerja terbaik yang sangat mungkin. Dengan sengaja dia tidak akan menampilkan the second best (kurang dari terbaik) karena tahu tindakan itu sesungguhnya adalah bunuh diri profesi. Seorang profesional mengusahakan dirinya selalu berada di ujung terbaik (cutting edge) bidang keahliannya. Dia melakukannya karena hakikat profesi itu memang ingin mencapai suatu kesempurnaan nyata, menembus batas-batas ketidakmungkinan praktis, untuk memuaskan dahaga manusia akan ideal mutu: kekuatan, keindahan, keadilan, kebaikan, kebergunaan.

4. Selalu Berbuat Baik
Seorang guru unggul selalu dimotivasi oleh keinginan mulia berbuat baik. Istilah baik di sini berarti berguna bagi masyarakat. Baik berarti goodness yang dipersembahkan bagi kemaslahatan masyarakat melalui muridnya. Mutu kerja seorang profesional tinggi secara teknis, tetapi nilai kerja itu sendiri diabdikan demi kebaikan masyarakat yang didorong oleh kebaikan hati, bahkan dengan kesediaan berkorban.

Tampaklah bahwa menjadi guru unggul sangat mudah. Modalnya hanya motivasi diri, dan stamina moral dari potensi diri sendiri. Jangan membuat sulit sesuatu yang sebenarnya telah melabel dalam diri kita. Berangkatlah dari motivasi yang berasal dari ruang spiritual. Dari ruang ini dapat didulang berbagai jenis motivasi luhur seperti demi siswa, demi bangsa, demi kaum papa, demi perdamaian, demi demokrasi, demi kemanusiaan, demi peradaban, dan sebagainya.

Sabtu, 14 Juni 2008

Guru di Mata Mbok Siti (1)

Oleh Suyatno

"Nak, janganlah susah mencari guru sejati untuk bekal hidupmu", kata Mbok Siti sambil memegang sayuran untuk hidangan keluarga siang itu. "Guru sejati itu, ada dalam dirimu", katanya sambil tersenyum sambil menampakkan guratan ketuaan di wajahnya. Aku tambah bingung mendengarnya. Lalu, Mbok Siti kupaksa untuk berhenti berjalan.

Berpikirlah sederhana karena dari kesederhanaan akan tampak kemudahan berpikir. Lihatlah dirimu, pasti ada yang menciptakan dan pasti pula untuk dimanfaatkan dan memanfaatkan agar dunia berkembang dengan kehidupan sejati. Itulah modal pertama yang harus direnungkan seorang yang akan mengetahui kesejatian guru. Gurumu adalah dirimu. Mbok Siti tersenyum sambil memberikan salam hormatnya padaku.

Kamis, 12 Juni 2008

Andakah Guru yang Menyesakkan Dada Siswa?

Jangan dianggap tidak terjadi apa-apa manakala siswa terdiam seribu bahasa saat guru di kelas. Bisa jadi, mereka memendam rasa dan memendam sesak dada gara-gara guru sangat menjengkelkan. Siswa tidak akan berani berkomentar langsung karena enggan, takut, atau super pasif. Guru biasanya juga tidak tahu kalau kelas yang dimasukinya penuh dengan sesak dada dan memendam rasa. Bahkan, banyak guru yang menganggap kelas diam sebagai keberhasilan mengajar.

Ada guru yang disukai siswa dan banyak pula yang dibenci siswa. Dampaknya, guru yang disukai siswa selalu mengakibatkan materi pembelajaran diserap dengan sempurna. Sebaliknya, guru yang dibenci siswa tidak menyebabkan materi diterima dengan baik oleh memori siswa. Bagi siswa, guru yang menyesakkan dada selalu menjengkelkan kalau harus diajak bekerjasama.

Berikut ini, ciri-ciri guru yang menyesakkan dada siswa. Tentunya, setelah membaca uraian di bawah ini, guru diharapkan segera berubah agar disukai siswanya.

Guru Penindas
Guru tipe ini punya hobi "menindas" siswa dengan dalih kekuasaan. Tak jarang, ia memerintah siswa semaunya.

Guru Detail
Guru detail suka terlalu berlebihan dalam memperhatikan detail, sehingga malah mengurangi efektivitas. Biasanya, mata melotot lama mengamati siswa satu per satu. Kacamata dimelorotkan penuh curiga. Ibaratnya, guru seperti singa mengendus kambing di hutan.

Guru Perfeksionis
Jika ada sesuatu yang tidak sempurna, guru ini akan uring-uringan. Standar kinerjanya biasanya memang tidak realistis, tak seperti guru lain. Ada suara cekikikan sedikit saja langsung tersinggung. Kelas harus terlihat bersih. Seragam siswa harus rapi semua, dan harus, harus, harus yang lainnya. Bahkan, guru yang satu ini sangat tidak rasionalistis seperti hidup di bumi.

Guru Gunung Es
Perubahan, sekecil apa pun, dapat membuat Si Gunung Es kesal. Si satu ini memang tak suka perubahan. Ia suka status-quo. Hal baru tidak pernah disinggung sedikit pun. Siswa harus berpedoman pada buku yang dipelajari. Kalau melenceng sedikit saja, dia marah meskipun siswa memberikan bukti autentik.

Guru Perajuk
Guru jenis ini tak jarang menolak tugas yang dibebankan padanya, jika ia merasa tugas itu bukan bagian dari tugasnya. Suka protes meskipun tidak tahu apa-apa. Kelas sangat gampang ditinggalkannya hanya masalah sepele.

Guru Penyebar Gosip
Guru akan merasa menjadi orang penting saat cerita yang ia sampaikan dan besar-besarkan membuat orang-orang di sekitarnya bereaksi. Omongnya segudang dengan bumbu gosip sangat adiktif. Saat di kelas, guru banyak membual sedikit materi pelajaran.

Guru Pesimistis
Seorang pesimis menganggap kelas atau bahkan dunia sebagai tempat yang tidak nyaman. Apa pun yang dikerjakan orang lain, ia merasa tak akan menciptakan perubahan baginya. Dia selalu merasa kalah sebelum berjuang. Guru semacam ini tidak pernah yakin kalau siswanya mampu melakukan sesuatu.

Guru Kanak-Kanak
Tingkahnya memang masih seperti anak-anak yang tak beroleh mainan yang ia inginkan. Ngambek, menarik diri, dan akhirnya menangis. Siswa menjadi tumpuan tangisannya.

Anda GURU YANG MANA? Semoga Anda tidak menjadi guru yang menyesakkan dada siswa. Caranya, selalulah banyak berdiskusi, membaca, bersahabat dengan anak, dan sering melakukan refleksi diri.

Rabu, 11 Juni 2008

Nasib Siswa Sekolah Swasta: Akan Belajar Saja Demo Dulu

Oleh Suyatno

Pagi tadi, Rabu, 11 JUni 2008, saya lewat jalan Walikota Mustajab Surabaya dengan kaget dan sakit. Saya melihat siswa SMA/SMK bernaung di Yayasan LP PGRI Surabaya berderet-deret dan berteriak-teriak untuk meminta gedung belajar. Mengapa hanya untuk belajar saja, mereka berteriak karena ruang belajarnya diminta oleh Pemkot untuk tidak ditempati. Aduh, kasihan mereka.

Siswa-siswa itu pasti warga Surabaya, meski ada pula siswa dari daerah lain dengan jumlah sangat sedikit yang bersekolah di Surabaya. Kalau memang warga Surabaya, mereka berarti juga menjadi tanggung jawab pemerintah untuk kelangsungan pendidikannya. Lalu, mengapa ruang belajar mereka yang sementara berada di sekolah negeri itu harus dikosongkan dengan dalih bukan milik PGRI?

Andaikata, sekolah di bawah naungan ini bubar, lalu siswa mereka ditampung di mana?

ADUHM HATI INI TERIRIS JUGA MELIHAT GURU_GURUNYA JUGA ikut mendampingi siswa berdemo. Sampai kapan mereka harus berdemo? Apakah harus lewat jalan berteriak-teriak dahulu baru ada solusi.

Diskriminasi Pendidikan Itu Masih Ada

Oleh Suyatno

Ketika seorang siswa ber-danem (daftar nilai ebtanas murni) pas-pasan, saat itulah, dia akan masuk perangkap diskriminasi pendidikan. Siswa itu sudah tidak lagi diharapkan masuk sekolah pemerintah. Karena saat ini, sekolah pemerintah (baca negeri)hanya menampung anak rakyat yang berprestasi di arena kognitif semata. Jika berprestasi rendah, siswa mulai masuk anak swasta yang serba diwarnai diskriminasi.

Diskriminasi pertama, siswa akan masuk keranjang tidak mampu secara kognitif. Mereka akan masuk sekolah swasta yang dianggap sekolah nomor dua setelah negeri. Anehnya, nasyarakat menerima diskriminasi ini dengan berlomba-lomba menjaga gengsi yang ditandai dengan memasukkan anaknya ke negeri.

Kecuali sekolah swasta yang madiri dan kaya, sekolah swasta pinggiran selalu serba kekurangan, baik dana, sarana, maupun kognisi siswa karena buangan dari negeri yang telah terdiskriminasi. Anehnya, media massa tidak akan pernah melirik siswa yang masuk keranjang diskriminatif ini. Yang diekspos selalu siswa yang berada di negeri dengan potensi yang bagus.

Diskriminasi kedua, pemerintah selalu memandang sekolah swasta sebagai sekolah di luar jangkauannya. Yang selalu menjadi bahan untuk dikembangkan selalu didominasi sekolah negeri. Akibatnya, pandangan sebelah mata pun terjadi.

Diskriminasi ketiga, siswa yang tidak masuk negeri dianggap sebagai biang kenakalan dan ketidakaturan dalam bersikap. Ucapan, "biasa anak swasta ya nakal seperti itu"; "anak swasta selalu buku dilipat di saku"; dan seterusnya.

Padahal, kalau dirunut lebih jauh, siswa sekolah swasta berjumlah lebih banyak dari siswa di negeri karena kapasitas yang tidak mencukupi. Untuk itu, sudah menjadi tugas pemerintah untuk menampung mereka karena tanggung jawab berdasarkan UUD 1945, pemerintah berada di garda depan. Penerintah wajib menomorsatukan upaya pengembangan sekolah swasta dan segera pula menambah sekolah baru atau ruang kelas baru.

Gejala mendiskriminasi pendidikan sangat tampak di Surabaya. Saat ini, sekolah swasta di bawah naungan PGRI harus hengkang dari gedung numpang. Pemkot Surabaya beranggapan bahwa gedung itu hanya untuk sekolah negeri. Padahal, PGRI sangat berjasa untuk menampung siswa yang terdiskriminasi dari sekolah negeri. PGRI turut pula memberikan kelegaaan masyarakat karena anaknya dapat ditampung dari situ. Pemkot harus sadar bahwa gedung sekolah itu milik rakyat. Nah, siswa dari PGRI juga anak rakyat. Untuk itu, mengapa tidak dikembangkan saja menjadi sekolah yang berdimensi untuk semua. Biarlah siswa PGHRI numpang karena memang tidak ada gedung dan berbayar murah. Bagaimana menurut Anda?

Kamis, 05 Juni 2008

Masa Golden Age Obama Dibentuk Guru Indonesia


Oleh Suyatno

Ketika bercita-cita menjadi presiden, "Barry" Barack Obama masih berusia delapan tahun dan masih bersekolah di INDONESIA. Saat itu, sang guru Indonesia memberikan pelajaran mengarang, Obama membuat tulisan Cita-Citaku Menjadi Presiden. Cita-cita itu sejengkal lagi akan terwujud dan sentuhan tangan pedagogis guru Indonesia turut mewarnainya.

Masa Golden Age merupakan masa yang paling bagus untuk menguatkan memori dan membedah memori baru bagi sang anak. Begitu pula, masa golden age Obama diwarnai oleh realitas anak-anak Indonesia di bawah asuhan guru Indonesia. Sebuah prestasi yang mengagumkan bagi guru Indonesia. Jika Obama kelak menjadi presiden, guru Indonesia layak diacungi jempol karena mampu mendidik seorang anak menguatkan cita-cita di usia SD untuk menjadi presiden negara besar Amerika Serikat.

Barry nama panggilan Obama semasa bocah di Jakarta. Usianya baru enam tahun dan usia 10 tahun meninggalkan Indonesia menuju Hawaii. Lima tahun warna kehidupan Obama didampingi guru-guru Indonesia. Pada 40 tahun lalu, di Jakarta, saat dia bersama ibunya, Ann Dunham, dan ayah tirinya, Lolo Soetoro, bocah berkulit hitam, berbadan gemuk, dan berambut ikal itu cepat bergaul dengan anak-anak sebayanya di kampung. Kendati belum bisa berbahasa Indonesia, dia mau diajak main apa saja. Petak umpet, gulat, tembak-tembakan, kasti, hingga sepak bola, Barry hayo saja. Barry paling senang berlari. Gaya larinya kerap menjadi bahan tertawaan warga Menteng Dalam.

Permainan itu tentunya memberikan manfaat bagi penguatan fisik, pergaulan, sosial, dan tenggang rasa bagi Obama. Obama, di samping itu, telah mempunyai banyak pajanan (exposure)yang melekat dalam memorinya. Pajanan itu berupa benda budaya, permainan anak-anak alamiah, aneka satwa, dan buiku-buku. Keluarga Soetoro pindah ke Menteng Dalam dengan membawa pelbagai ornamen tradisional rumah Papua. "Saya pertama kali tahu tombak Irian, ya, waktu main ke rumah Barry," tutur Eddy Purwantoro, 51 tahun, tetangga sebelah Barry. Lolo Soetoro juga membawa serta hewan peliharaan, seperti ular, biawak, kura-kura, kera, hingga beberapa jenis burung dari Papua. Hewan-hewan
itulah yang kerap dipamerkan Barry kepada teman-temannya. Yunaldi Askiar, 45 tahun, tetangganya yang lain, bercerita, ia pernah marah ketika Barry membuatnya kaget saat menyodorkan kepala kura-kura ke wajahnya. Tapi amarah Yunaldi tak berlangsung lama. Tak sampai sebulan kemudian hewan itu lenyap lantaran rumah Lolo diterjang banjir.

Dalam soal makan, terutama jika ada rendang atau roti cokelat, Barry amat lahap. Kata-kata curang, jangan ganggu, dan jangan begitu merupakan ungkapan bahasa Indonesia yang paling sering diucapkan Obama kecil. Israella Pareira Darmawan, 64 tahun, guru Barry sewaktu kelas I di sekolah Asisi, menyebutkan kosakata Indonesia Barry amat terbatas di bulan-bulan awal masuk sekolah. Baru pada bulan keempat dan kelima, Obama mulai bisa berbahasa Indonesia meski terbata-bata.

Nilai bahasa Indonesia Barry cuma 5. Tapi ia amat pandai matematika. Secara keseluruhan Obama masuk sepuluh besar. "Dia anak cerdas, sabar, mudah bergaul," kata Israella. Dapat dikatakan bahwa kecerdasan Obama digali oleh guru Indonesia.

Ibu guru itu masih ingat, Obama suka membela teman-temannya yang bertubuh kecil. Ia kerap memeluk atau memegang tangan teman mainnya yang jatuh dan menangis. Bertubuh paling jangkung, Barry senang memimpin barisan. "Kalau guru masih belum masuk kelas, dia akan melarang siapa pun masuk kelas lebih dulu," ucap Israella.

Di Asisi, Obama bersekolah dari 1968 hingga 1970 awal. Selanjutnya ia pindah ke Sekolah Dasar 01 Besuki, Menteng (sekarang Sekolah Dasar Negeri Menteng 01, Jalan Besuki) saat kelas III. Barry bersekolah di Besuki cuma sampai akhir kelas IV. Dia kemudian melanjutkan pendidikan dasarnya di Hawaii, Amerika Serikat.

Sandra Sambuaga-Mongie, 47 tahun, mengenang Barry sebagai kawan yang mudah berteman dan tak gampang marah. Sementara itu, Widiyanto, karyawan Prima Cable Indo, tak pernah lupa pada tangan kidal Barry. Obama sering menunjukkan gambar-gambar tokoh superhero, seperti Batman dan Spiderman, hasil coretan tangan kidalnya. "Ia juga ikut pramuka dan karate," ujar Widiyanto.

Fotografer Rully Dasaad, 48 tahun, mengenang Obama sebagai kawan yang sama-sama hiperaktif. Barry dan Rully dikenal tak bisa diam dan kerap menebarkan bau apak keringat kepada kawan-kawan mereka setelah bermain kasti. "Saya ingat waktu ikut pramuka, Barry pernah diikat oleh kakak kelas karena tak bisa diam," ujarnya.

Rully juga merekam cerita tiga bulan pertama Obama bersekolah di sekolah dasar Besuki. Barry tak pernah mau menyanyi. Tapi, setelah itu dia senang menyanyikan lagu-lagu perjuangan Indonesia. Salah satu lagu kesukaannya: Maju Tak Gentar.

Obama kecil adalah Obama yang punya kehidupan berwarna. Ia cerdas, mudah bergaul, melindungi teman-temannya, berusaha keras belajar bahasa Indonesia, senang menyanyi lagu perjuangan, menimba sendiri air sumur di rumahnya, dan suka mengenakan kain sarung pemberian ayah tirinya.

Tentunya, kelincahan, kecerdasan, dan kreativitas Obama turut diwarnai oleh guru-gurunya, baik saat SD Asisi maupun saat di SDN Menteng I Jakarta. Guru tersebut adalah Bu Israekka dan Pak Effendi. Pak Effendi mungkin bukan siapa-siapa namun turut muridnya murid yang kini menjadi salah satu kandidat presiden Amerika.

Perjumpaan Effendi dengan Obama memang hanya sekejap. Tahun 1969, Obama datang ke Indonesia untuk tinggal bersama ayah tirinya, Lulu Soetoro. Sang ibu, Stanley Ann Dunhamm lalu mendaftarkan Obama ke SD Negeri Besuki Menteng, Jakarta. Uniknya, Obama sampai sekarang masih mengira SD langganan anak-anak pesohor dan pejabat negeri itu sebagai sekolah publik biasa. Dalam biografinya, Obama bahkan menulis merasa beruntung pernah merasakan bersekolah di sebuah SD, di negara yang miskin.

Obama tak menyadari teman-teman sekelasnya dulu anak-anak pejabat dan pengusaha terkemuka Indonesia. Sebagian besar teman-temannya tinggal di kawasan elite Menteng, berbeda dengan Obama yang tinggal di kawasan Parung, Jakarta. Perbedaan ini tak terasa, gara-gara teman-teman sekelas Obama senang berjalan kaki ramai-ramai pergi dan pulang sekolah.



Ingatan Effendy masih kuat. Dia masih mengenali anak-anak didiknya yang kini sudah beranak cucu. Bahkan Effendi bisa mengomentari kebiasaan mereka. Satu-persatu, dia membisikkan pada saya, latar belakang 10 teman sekelas Obama yang hadir malam itu.

Effendi masih berumur 25 tahun, saat dua kali berturut-turut menjadi wali kelas Obama. Menurutnya, Obama cenderung penurut tapi senang berbicara. Di ingatan Effendi, kandidat presiden Amerika itu hanya seorang anak gendut, berkulit coklat dan berambut keriting yang sulit melafalkan huruf r dalam bahasa Indonesia. Anak itu senang belajar dan punya rasa keingintahuan yang besar. Setiap kali waktu istirahat Obama menghampiri Effendy, mengajak mengobrol.

Dari gambaran di atas, terlihat jelas bahwa terjadi persinggungan antara guru Indonesia dan Obama. Dalam persinggungan itu akan terjadi penguatan nilai pedagogis yang sari konseptualnya melekat dalam bawah sadar Obama. Nah, kenangan bawah sadar yang dialami terutama cita-cita menjadi presiden, kini muncul dalam dunia realitas. Guru Indonesia berjasa atas penguatan endapan bawah sadar yang kini menyembul ke dunia realitas dalam konteks pilpres Amerika Serikat. Hidup guru Indonesia.


Sumber ramuan: Majalah Tempo, 21 April 2008; www.mail-archive.com/ppiindia@yahoogroups.com; kabar-indonesia.com. Gambar:kabarindonesia.com/ www.rollingstone.com

Kebahagiaan Guru di Simpang Mana?



Guru haruslah bahagia agar dapat memberikan warna bagi muridnya. Jika guru bahagia, 90% murid juga turut bahagia. Nah, peganglah teguh kebahagiaan agar kita mampu berada di pusaran bahagia. Guru harus berani berada di alur kebahagiaan dan berani membuang kemuraman dan kesedihan meskipun mendung masih berada di ubun-ubun guru.

Saat ini, kebahagiaan guru di simpang yang mana? Apakah jalannya masih terjal atau sudah tersedia jalan yang mulus? Rasanya tidak penting, kita melihat kualitas jalannya. Yang terpenting ambillah kebahagiaan sekarang juga, detik ini, dan waktu ini. Kebahagiaan ada dalam diri guru. Jangan membandingkan dengan kepedihan, kemuraman, dan kegelapan yang ada di sekitar. Jadilah bahagia sejati yang ditopang oleh kekuatan diri sendiri, apapun keadaannya.

Kalau kita menyadari sejenak apa yang terjadi di sekeliling, tentu akan merasakan sebuah aliran kekuatan yang dahsyat dari pribadi-pribadi yang ada. Ada tukang batu yang rela bekerja sampai malam mengerjakan galian pipa, ada banyak sopir angkutan umum bersaing mengejar setoran, ada banyak pejabat korupsi di sana sini dari yang mulai jutaan sampai triliunan rupiah, ada konflik di sana sini merebutkan kursi kepemimpinan sebuah lembaga negara, ada orang yang mengejar hadiah jutaan rupiah sebegitu rupa sehingga orang lain tidak diberi kesempatan, dan masih banyak lagi peristiwa yang kita alami setiap harinya.

Dalam wawancaranya dengan seorang psikiater anggota American Board of Psychiatry and Neurology, Howard Cutler, MD, pemimpin politik dan spiritual bangsa Tibet, Dalai Lama keempat belas menyebut bahwa fenomena atau gejala ini merupakan gerak hidup manusia menuju kebahagiaan.

Gerak ini, menurut pemilik nama asli Tenzin Gyatso, sudah dibaca dan dirumuskan sejak lama oleh para filsuf sejak Aristoteles sampai Willliam James. Mereka berpendapat bahwa tujuan akhir keberadaan atau eksistensi manusia di dunia ini adalah untuk mencari kebahagiaan. Sayang, kecenderungan terbesar manusia dari jaman ke jaman adalah mementingkan diri sendiri serta mau menang sendiri dalam mencapai kebahagiaan itu.

Padahal, menurut Dalai Lama, justru sebaliknya, orang yang mementingkan diri sendiri, menjauhkan diri dari pergaulan, selalu cemas, iri dan membenci orang lain adalah orang yang tidak bahagia.“Orang yang bahagia umumnya lebih mudah bergaul, luwes, kreatif, penyayang, pemaaf, murah hati, selalu bersedia mengulurkan bantuan untuk orang lain dan tidak sombong,” ujar Dalai Lama.

Cenderung Tamak
Banyak orang berpikir bahwa dengan memiliki jabatan tinggi, kursi kepemimpinan di sebuah lembaga tinggi, pendidikan tinggi, uang yang banyak dan segala macam kepuasan lain adalah faktor-faktor yang bisa membahagiakan.

Dalai Lama menyebutkan, kekayaan, kepuasaan atas jabatan tertentu atau kemuliaan, kesehatan, persahabatan, kepuasaan akan pengetahuan, pencerahan atas sebuah pandangan spiritual tertentu bisa jadi menyebabkan kita bahagia. Namun, menurut Sr. Seraphine OSF, itu bukan bentuk kebahagiaan sejati. “Kebahagiaan sejati terletak di dalam diri kita sendiri,” ujar Pemimpin Wisma Samadi Emaus, Jakarta.

Keinginan kita untuk mengejar segala sesuatu semisal uang, barang-barang tertentu, jabatan, pesahabatan, penampilan yang seksi, dan lain-lain selalu tidak akan habis. Ketika keinginan yang satu terpenuhi, keinginan yang lain akan muncul. Begitu seterusnya. Kalaupun terpenuhi semua keinginan itu, menurut Seraphine itu hanya akan membawa ke kebahagiaan yang semu. “Karena hanya berlangsung sementara. Sesudah semuanya dipeluk, dimiliki, lantas mau apa? Kosong hati ini rasanya,” ujarnya membagi pengalaman.

Bahwa manusia selalu memiliki keinginan, bagi teolog lulusan University of Poona India, Alexander Dirjosusanto itu dianggapnya wajar. Sayangnya, kecenderungan umum dari kita adalah selalu tidak puas dengan apa yang sudah kita capai. Manusia cenderung tamak. “Orang sering kali merasa gelisah pada apa yang semestinya tidak perlu digelisahkan,” jelasnya. Mungkin seseorang sudah cukup hanya dengan menggunakan telepon genggam seharga 300 ribu. Tapi, karena gengsi atau hanya sekedar ingin, lalu membeli yang harganya tiga juta rupiah.

Begitu tamaknya manusia, ada sebuah sindiran yang begitu tajam berbunyi ‘Biarpun seluruh dunia menjadi miliknya, manusia akan meminta yang lebih lagi. Bahkan seluruh jagat raya ini’.

Bersyukur Lebih Awet
“Satu-satunya obat untuk menjauhi sifat tamak adalah sikap untuk selalu bersyukur,” ungkap Dalai Lama kepada Howard. Langkah ini sangat efektif karena pada dasarnya hal-hal material tidak bisa dijadikan ukuran kebahagiaan seseorang. Tidak ada jaminan bahwa kekayaan saja dapat memberi Anda kebahagiaan atau kepuasaan yang Anda cari.

“Apalagi, perasaan puas kita sangat dipengaruhi oleh kecenderungan untuk melakukan pembandingan,” ujar Tenzin. Setiap kali, kita cenderung melihat dan merasa orang lain lebih beruntung dari diri kita. Padahal kita pun sebenarnya beruntung.

Ketika melihat tetangga mendapat hadiah jutaan rupiah, kita lalu berupaya supaya mendapat hadiah yang sama. Saat orang lain punya telepon genggam, kita berupaya mendapatkannya. Memang kepuasaan akan terasa. Namun hanya sebentar. Kalau tidak mendapat, kekecewaan dan frustasi yang didapat. Kita menganggap Tuhan tidak adil dan sebagainya. “Maka, kalau kita hendak membandingkan diri dengan orang lain, bandingkanlah dengan mereka yang kurang beruntung dan merenungkan semua yang kita miliki,” jelas Alex.

Dalai Lama cerita kepada Howard tentang sejumlah penelitian. Dalam sebuah studi di Universitas of Wisconsin, Milwaukee, AS, sejumlah wanita diminta melihat gambar-gambar kondisi hidup yang sangat buruk di Milwaukee di sekitar abad ke-20.

Mereka juga diminta membayangkan dan menulis tragedy-tragedi pribadi seperti terbakar, cacat seumur hidup. Sesudah menyelesaikan latihan, para wanita ini diminta menilai mutu hidup mereka sendiri. Latihan ini menghasilkan suatu peningkatan rasa puas atas hidup mereka masing-masing.

Sebuah eksperimen lain di State University of New York, Buffalo, para subyek diminta menyelesaikan kalimat “Saya bersyukur karena saya bukan…” Sehabis lima kali mengulang latihan ini, para subyek menyatakan mengalami peningkatan nyata dalam rasa puas mereka terhadap hidup.

Kelompok subyek lain diminta menyelesaikan kalimat “Andaikata saya menjadi…” Kali ini eksperimen ini menyebabkan para subyek merasa kurang puas dengan hidup masing-masing. Penelitian-penelitian ini menurut Dalai Lama dilakukan untuk menunjukkan bahwa tingkat kepuasaan seseorang terhadap hidupnya dapat ditingkatkan hanya dengan mengubah perspektif atau sudut pandang orang. “Dalam hal ini sikap mental kita menjadi penentu utama apakah kita mau bahagia atau tidak,” ujar sang biku. Baik Alex maupun sang biku menyebut bahwa kebahagiaan ditentukan oleh pikiran seseorang sendiri ketimbang oleh peristiwa-peristiwa luar dan hal-hal material.

Saya bisa bahagia karena dalam diri saya punya persepsi keadaan sekarang ini sudah membahagiakan saya. Bukan saya bahagia bila sudah punya ini atau itu, kalau tidak punya saya tidak bahagia. Menurut Alex, semua hal yang kita miliki entah itu kekayaan, kesehatan, persahabatan, jabatan tidak akan memberi dampak yang membahagiakan yang berkepanjangan tanpa sikap mental yang benar. “Paling hanya memberi rasa senang sesaat,” ujar Pastor asal Promasan, Yogyakarta ini.

Sebagai contoh, jika Anda menyimpan kebencian atau kemarahan yang mendalam, pikiran tersebut akan merusak kesehatan Anda. Dengan demikian merusak salah satu prasyarat kebahagiaan. Begitu pula jika Anda tidak bahagia dan bawaannya hanya kesal saja, kesehatan tubuh tidak banyak artinya.

Sebaliknya, Jika Anda dapat mempertahankan pikiran yang tenang, damai, tenteram, Anda dapat menjadi orang yang sangat bahagia meskipun kesehatan Anda buruk. Alex menegaskan, makin tinggi tingkat ketenangan pikiran kita, makin besar kedamaian yang kita rasakan, makin besar kemampuan kita menikmati hidup yang bahagia dan menyenangkan.

Dalai Lama menambahkan,” Selama Anda tidak pernah menjalani disiplin batin yang bisa mendatangkan kedamaian pikiran, tidak peduli kelimpahan materi atau kondisi yang Anda miliki, semua itu tidak akan pernah memberi Anda rasa sukacita dan bahagia yang Anda dambakan. Sebaliknya, bila Anda memiliki batin yang terpuaskan, pikiran yang tenteram dan kemantapan sampai batas tertentu, bahkan jika Anda memiliki bermacam kelengkapan lain yang biasanya menjadi prasyarat kebahagiaan, Anda masih mungkin menjalani hidup bahagia dan menyenangkan,”.

Ngapain Ngoyo?
Dalai Lama mengatakan bahwa apakah kita bahagia atau tidak tegantung persepsi kita atas hidup yang kita jalani. Kalau kita mau bersyukur dan puas atas apa yang kita kerjakan dan kita peroleh, dengan sendirinya sikap itu akan membahagiaan kita. Dengan kata lain, sebenarnya kebahagiaan dapat dicapai lewat latihan mental.

bahwa upaya untuk mencapai hal-hal yang kita inginkan itu sebagai sesuatu yang tidak baik. “Bahwa kita bekerja supaya bisa membeli rumah, pakaian dan kebutuhan lain itu adalah normal. Yang tidak normal adalah bila kita terobsesi dan begitu ambisius seolah hidup hanya untuk memenuhi seluruh keinginan itu,” ujar pemenang hadiah Nobel perdamaian tahun 1989 ini.

Alex menyebutkan, bahwa istilah Jawa sakmadyo (secukupnya) adalah kata tepat untuk itu. Bila kita sudah cukup terbantu dengan memiliki mobil kijang, kenapa lagi harus membeli Mercedes. Secukupnya ini akhirnya akan membawa kita pada sikap bersahaja. Kita berupaya karena memang hal itu perlu diupayakan. Sejauh mana perlu, itu harus ditelusuri dari motivasi kita.

Saya mau beli mobil Honda atau Mercedes. Secara fungsional Honda pun cukup, tapi ternyata gengsiku mengatakan aku perlu Merci. Nah, mana yang lebih penting buat Anda, fungsi atau gengsi Anda? Selain memenuhinya dengan tidak ngoyo (jawa= ambisius) atas apa saja yang kita inginkan, Dalai Lama menyebut bahwa teknik untuk bisa berbahagia adalah dengan menghargai apa yang sudah kita miliki sekarang.

Alex menambahkan, sikap seperti ini bisa kita lihat dalam kebiasaan orang Jawa. Dalam suatu kecelakaan ada yang mengatakan “Untung, telinga saya saja yang lecet…” atau “Untung hanya kaki saya yang buntung, coba kalau ……” Berpikir optimis semacam merupakan sikap bahwa kita bisa menghargai keadaan yang sudah kita terima. Penghargaan ini pada akhirnya memunculkan sikap syukur, terima kasih, bahwa kita masih beruntung.

Perlu Kebebasan Batin
Menurut Sr. Seraphine, untuk mendapat kebahagiaan, kita perlu mengatur waktu (time manajemen). Dari 24 jam hidup kita sehari, seberapakah waktu kita luangkan untuk diri sendiri, keluarga, profesi, dan kegiatan sosial? Kita perlu mengatur agar semuanya mendapat bagian secara proporsional. Perhatian pada proporsi yang tepat dan seimbang menandakan bahwa kita sendiri sadar, hidup ini tidak hanya untuk mengejar satu hal, uang misalnya.

Kalau semua mendapat bagian, kita akan berbahagia. Dari sela-sela waktu itu, akan baik sekali bila kita selalu terhubung dengan Tuhan dengan doa dalam hati. “Mungkin di saat mengetik, kita ucapkan sebaris doa Tuhan, kasihanilah kami atau yang lain dan itu bisa kita lakukan selama 24 jam waktu kita” ujar biarawati Katolik ini.

Sikap seperti ini akan membantu kita menyadari betapa seluruh upaya yang kita kerjakan sepanjang hari bukanlah semata usaha kita sendiri, melainkan berkat bantuan Tuhan juga. Mereka yang muslim pun bisa melakukannya dengan model zikir dalam hati menyebut salah satu asma Allah. la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) atau Allah Hu (Dialah Yang).

Dengan begitu, setiap kali kita mengalami peristiwa entah itu menyenangkan atau tidak, rasa syukur akan selalu muncul. “Batin kita pun akan merasa bebas karena tidak lekat terhadap hal tertentu,” jelas wanita usia 75 tahun ini.

Kelekatan terhadap barang duniawi seperti uang, jabatan, pujian, dan sebagainya sering membuat kita tidak tenteram. Hidup terasa melelahkan karena seluruh daya upaya diforsir untuk mencapai semua itu. Tanda lekat berlebihan terhadap hal-hal itu adalah bila tidak tercapai, kita akan kecewa, sedih, frustasi berkepanjangan.

“Kita perlu punya kebebasan atau kemerdekaan batin supaya ketika barang duniawi milik kita misalnya uang, persahabatan, kesehatan kita hilang, dengan ikhlas kita bisa menerimanya,” jelas Seraphine

Bagaimana Biar Bahagia
* Sadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa didasarkan pada barang duniawi, melainkan dari dalam diri sendiri.
* Ucapkanlah selalu rasa syukur dan terima kasih pada Tuhan atas segala hal yang kita capai atau kita miliki sekecil apa pun.
* Hargailah semua yang kita miliki dengan memeliharanya, merawatnya, dan mencintainya.
* Bandingkan diri pada mereka yang kurang beruntung dan bukannya pada mereka yang lebih beruntung dari kita.
* Lakukan segala sesuatu secara proporsional. Bila mesti selesai bekerja jam enam, lakukanlah. Bila mesti berhenti makan setelah kenyang, berhentilah.
* Atur waktu Anda secara seimbang; usahakan waktu untuk diri sendiri, keluarga, pekerjaan, dan kegiatan lain mendapat bagian semuanya. (diramu dari Kompas.com)

Guru, Sambutlah Gairah Siswa

Oleh Suyatno

Tiap pagi, siswa pasti mandi, shalat, berbaju bersih, berpamitan kepada orangtua, dan berangkat ke sekolah dengan riangnya jika siswa dalam suasana hati yang riang pula. Keriangan itu tersembul akibat perasaan siswa yang akan bertemu dengan kawan-kawan dan guru-gurunya. Itu sebuah pertemuan yang menggairahkan dan menyenangkan.

Namun, keriangan siswa akan cepat sirna dan berubah menjadi muram, jengah, dan kecut hati jika di sekolah dilayani oleh guru yang tidak bergairah. Guru itu berpenampilan membosankan, gaya mengajar yang itu-itu terus, dan tidak menarik bagi siswa. Jadilah pembelajaran yang hidup enggan mati tak mau. Tentu, tiada satupun informasi yang dapat masuk ke relung memori siswa untuk disimpan di sektor otak berdimensi baik.

Sebaliknya, jika siswa, saat di sekolah, dilayani guru yang bergairah pula, memori anak akan dipenuhi oleh kesan yang melekat dan suatu saat akan menjadi inspirasinya. Guru mampu menyeimbangkan gairah dirinya dengan gairah siswanya. Guru mengolah strategi mengajar dengan penyesuaian yang mantap pula. Dengan layanan seperti itu, siswa akan memberikan gairah yang lebih besar lagi.

Tugas mengajar adalah sebuah tugas yang harus berdimensi mengembangkan siswa dari belum bisa menjadi bisa, dari belum tahu menjadi tahu, dari belum terpola menjadi berpola, dan dari belum layak menajadi layak berilmu. Tugas mengajar itu akan memenuhi targetnya manakala terjadi kecocokkan antara keinginan guru dan keinginan siswa. Dalam kondisi itu, siswa akan cepat menangkap ilmu, suka mengikuti pelajaran, dan bergairah dalam menjalani proses pembelajaran.

Guru yang mampu berada dalam keseimbangan hubungan dengan siswanya biasanya selalu terbuka sikapnya, paham akan tugas mulianya, banyak strategi layanannya, menguasai dan menerapkan multimetode, melakukan komunikasi yang handal, dan memahami perkembangan kejiwaan siswa. Sosok guru yang imbang juga didukung oleh keluasan penalaran dan kedalaman pengetahuan. Dia akan selalu memburu informasi berkaitan dengan perkembangan dunia pembelajaran. Giat untuk melakukan perenungan melalui diskusi dengan teman sejawat dan menimba ilmu dengan siapapun. Guru yang seperti itulah yang diinginkan oleh siswa.

Rabu, 04 Juni 2008

Cara Guru Awet Muda dan Bergairah



Guru itu manusia yang juga berkeinginan tetap muda agar selalu dicintai muridnya. Guru tua, berkeriput, jalan perlahan-lahan, refleks lamban, dan pandangan sudah kabur sangat menyesakkan bagi yang melihat dan merasakannya. Banyak guru yang mengeluhkan keadaan kulit dan wajah mereka yang tampak lebih tua daripada umur sebenarnya. Bahkan bercermin ribuan kali, wajah tetap berkerut.

Berikut ini rahasia agar guru awet muda dan dicintai muridnya yang diramu dari majalah Nova. Untuk mengatasi masalah ini, ada 10 rahasia agar guru tetap tampak awet muda:

1. Selalu merasa bahagia
Merasa bahagia adalah salah satu kunci utama agar tetap terlihat awet muda. Dalam setiap kegiatan, usahakan agar apa yang Anda lakukan sesuai dengan apa yang Anda inginkan.

Hindari stres, perasaan bersalah dan tertekan karena paksaan orang lain. Ingat, apa yang Anda rasakan akan tercermin pada wajah Anda. Jadi, orang yang sedang bahagia, wajahnya akan terlihat berseri-seri, santai dan lebih muda daripada usia sebenarnya.

2. Banyak bergerak
Berolahraga adalah cara agar awet muda. Lakukan jogging, jalan cepat, bersepeda maupun berenang sekitar 30 menit setiap hari. Dengan olahraga, risiko terkena serangan jantung, osteoporosis, dan kanker pun akan mengecil.

Olahraga teratur dapat menambah fleksibilitas otot, memperkuat tulang, serta mengurangi stres, karena sel-sel tubuh mendapat lebih banyak oksigen. Tidur Anda pun akan nyenyak.

3. Konsumsi vitamin C
Vitamin C bisa Anda peroleh dari buah-buahan segar (terutama jeruk), sayur-mayur berwarna hijau (brokoli dan lain-lain) atau suplemen vitamin C sebanyak 1000 mg perhari. Vitamin C terbukti bisa meningkatkan daya tahan tubuh, mengurangi risiko terkena kanker dan melindungi tubuh dari efek yang ditimbulkan oleh polusi.

Di samping itu, perbanyak minum air putih. Meminum air putih 8 gelas per hari akan mengurangi stres, menjaga kesegaran kulit, serta memperlancar kerja organ tubuh.

4. Gunakan pelindung UV
Matahari adalah salah satu faktor utama penyebab penuaan dini. Oleh karena itu, gunakan selalu lotion pelembap secara teratur setiap hari, khususnya bila akan bepergian, agar kulit tetap segar, lembab dan tidak terbakar sinar matahari, terutama sinar ultra violet (UV).

5. Istirahat cukup
Manusia butuh sekurang-kurangnya 8 jam setiap hari untuk tidur. Istirahat cukup bermanfaat untuk menghindari terbentuknya kantung mata, kulit keriput dan wajah kusam.

6. Perhatikan penampilan
Penampilan dan tata rias wajah juga memegang peranan penting. Meski usia terus bertambah, tetap perhatikan jenis kosmetik yang Anda pakai. Gunakan make-up tipis untuk kesan natural dengan tetap memperhatikan kondisi dan jenis kulit Anda.

7. Optimis
Orang yang pesimis selalu tidak percaya diri, gampang putus asa, dan tak pernah memperhatikan penampilan, yang bisa berakibat depresi. Jadi, berusahalah menjadi orang yang optimis dalam segala hal, sebab ini akan membuat hidup Anda akan lebih sehat dan bahagia.

8. Tersenyumlah kepada Siswa
Ketika siswa melihat gurunya tersenyum, ada doa yang tidak terucap dari siswa agar guru yang tersenyum itu diawetkan umurnya. Siswa akan bahagia melihat guru tersenyum yang berarti memperlancar siswa memahami materi pelajaran.

9. Jangan banyak memberikan PR
Banyak memberikan PR berarti akan mendatangkan bencana bagi pengkoreksian. Bahkan, PR banyak akan memberikan penambahan daya kerut. Sedikit saja memberikan PR asal mencapai tujuan. Upayakan mengevaluasi dari sisi lain yang membahagiakan siswa dan guru.

10. Jangan banyak utang
Rata-rata guru yang banyak utang sepat tua dan tidak bergairah. Tenaga dan amunisi diri terbuang untuk memikirkan bagaimana cara bayar utang. Bahkan knsentrasi mengajar akan hilang tertutup oleh utang yang mebayang.

Selasa, 03 Juni 2008

Dari Mana Memulai Mengajar Cara Cerdas?

Oleh Suyatno

Jika Anda guru, cobalah ingat-ingat tentang cara memulai mengajar Anda. Pasti cara yang digunakan merupakan cara yang klasik dan tiap hari dilakukan entah berapa tahun berjalan. Cara itu biasanya tanya jawab, langsung perintah buka buku, langsung menerangkan, dan langsung menyuruh siswa. Cara lain tidak pernah dilakukan. Ibaratnya, guru yang demikian itu merupakan mesin yang harus tetap berproduksi dengan cara yang sama.

Jangan khawatir, cara Anda juga tidak salah hanya saja perlu variasi agar siswa senang dalam belajar. Berikut ini tips memulai mengajar yang dapat dipakai untuk menambah cara mengajar yang lama.

Berangkat dari Siswa
Mulailah pelajaran dari diri siswa. Amati dengan cepat siswa yang hadir kemudian mulailah dari siswa yang diamati tersebut. Contoh, jika guru akan membahas pemilu, berangkatlah dari siswa yang halaman rumahnya digunakan untuk pilkada. Begitu pula, kalau guru akan mengajar tentang mencangkok, berangkatlah dari bentuk cangkok dari rumah atau halaman rumah siswa.

Berangkat dari Isu Nasional
Isu nasional datang bertubi-tubi tanpa henti. Banyak isu yang menarik untuk dijadikan bahan memulai pembelajaran. Mulailah dari isu nasional kemudian masuk ke inti pelajaran.

Berangkat dari Kejadian
Kejadian yang telah lalu, yang dialami siswa atau guru sendiri dapat digunakan untuk memulai pelajaran. Guru dapat bercerita tentang pengalaman yang baru saja dialami. Contoh, untuk masuk ke topik mengukur bidang datar, guru dapat memulai dengan pengalaman bermain voley.

Berangkat dari Gambar
Guru dapat membawa gambar beraneka bentuk, besar-besar ukurannya, atau kecil-kecil. Gambar itu dapat dipakai untuk memulai pelajaran dengan menarik.

Berangkat dari Teka-Teki
Banyak teka-teki yang menarik untuk digunakan memulai pelajaran. Dari teka-teki, siswa langsung mengolah pikiran yang berkaitan dengan topik.

Berangkat dari Benda Sekitar
Bawalah benda sekitar untuk memulai mengajar, yakni boleh batu, kerikil, tanaman, daun, akar, dan sebagainya. Siswa diajak untuk mengidentifikasi benda sekitar itu sebelum ke pembahasan inti.

Berangkat dari Film dan Siaran Radio
Saat memulai pelajaran, ajak anak menonton film singkat atau rekaman siaran radio. Kemudian, guru memancing pertanyaan dari isi film atau radio. Mulailah dengan pelajaran initinya.

Masih banyak lagi cara memulai pelajaran yang lebih menyenangkan. Misalnya melalui baca puisi, cerita singkat/dongeng, lagu, gerakan tubuh, boneka, yel-yel, dan yang lainnya. Jadi, jangan menutup diri dalam memulai mengajar hanya dengan tanya jawab.
Selamat mencoba.