Kamis, 05 Juni 2008

Masa Golden Age Obama Dibentuk Guru Indonesia


Oleh Suyatno

Ketika bercita-cita menjadi presiden, "Barry" Barack Obama masih berusia delapan tahun dan masih bersekolah di INDONESIA. Saat itu, sang guru Indonesia memberikan pelajaran mengarang, Obama membuat tulisan Cita-Citaku Menjadi Presiden. Cita-cita itu sejengkal lagi akan terwujud dan sentuhan tangan pedagogis guru Indonesia turut mewarnainya.

Masa Golden Age merupakan masa yang paling bagus untuk menguatkan memori dan membedah memori baru bagi sang anak. Begitu pula, masa golden age Obama diwarnai oleh realitas anak-anak Indonesia di bawah asuhan guru Indonesia. Sebuah prestasi yang mengagumkan bagi guru Indonesia. Jika Obama kelak menjadi presiden, guru Indonesia layak diacungi jempol karena mampu mendidik seorang anak menguatkan cita-cita di usia SD untuk menjadi presiden negara besar Amerika Serikat.

Barry nama panggilan Obama semasa bocah di Jakarta. Usianya baru enam tahun dan usia 10 tahun meninggalkan Indonesia menuju Hawaii. Lima tahun warna kehidupan Obama didampingi guru-guru Indonesia. Pada 40 tahun lalu, di Jakarta, saat dia bersama ibunya, Ann Dunham, dan ayah tirinya, Lolo Soetoro, bocah berkulit hitam, berbadan gemuk, dan berambut ikal itu cepat bergaul dengan anak-anak sebayanya di kampung. Kendati belum bisa berbahasa Indonesia, dia mau diajak main apa saja. Petak umpet, gulat, tembak-tembakan, kasti, hingga sepak bola, Barry hayo saja. Barry paling senang berlari. Gaya larinya kerap menjadi bahan tertawaan warga Menteng Dalam.

Permainan itu tentunya memberikan manfaat bagi penguatan fisik, pergaulan, sosial, dan tenggang rasa bagi Obama. Obama, di samping itu, telah mempunyai banyak pajanan (exposure)yang melekat dalam memorinya. Pajanan itu berupa benda budaya, permainan anak-anak alamiah, aneka satwa, dan buiku-buku. Keluarga Soetoro pindah ke Menteng Dalam dengan membawa pelbagai ornamen tradisional rumah Papua. "Saya pertama kali tahu tombak Irian, ya, waktu main ke rumah Barry," tutur Eddy Purwantoro, 51 tahun, tetangga sebelah Barry. Lolo Soetoro juga membawa serta hewan peliharaan, seperti ular, biawak, kura-kura, kera, hingga beberapa jenis burung dari Papua. Hewan-hewan
itulah yang kerap dipamerkan Barry kepada teman-temannya. Yunaldi Askiar, 45 tahun, tetangganya yang lain, bercerita, ia pernah marah ketika Barry membuatnya kaget saat menyodorkan kepala kura-kura ke wajahnya. Tapi amarah Yunaldi tak berlangsung lama. Tak sampai sebulan kemudian hewan itu lenyap lantaran rumah Lolo diterjang banjir.

Dalam soal makan, terutama jika ada rendang atau roti cokelat, Barry amat lahap. Kata-kata curang, jangan ganggu, dan jangan begitu merupakan ungkapan bahasa Indonesia yang paling sering diucapkan Obama kecil. Israella Pareira Darmawan, 64 tahun, guru Barry sewaktu kelas I di sekolah Asisi, menyebutkan kosakata Indonesia Barry amat terbatas di bulan-bulan awal masuk sekolah. Baru pada bulan keempat dan kelima, Obama mulai bisa berbahasa Indonesia meski terbata-bata.

Nilai bahasa Indonesia Barry cuma 5. Tapi ia amat pandai matematika. Secara keseluruhan Obama masuk sepuluh besar. "Dia anak cerdas, sabar, mudah bergaul," kata Israella. Dapat dikatakan bahwa kecerdasan Obama digali oleh guru Indonesia.

Ibu guru itu masih ingat, Obama suka membela teman-temannya yang bertubuh kecil. Ia kerap memeluk atau memegang tangan teman mainnya yang jatuh dan menangis. Bertubuh paling jangkung, Barry senang memimpin barisan. "Kalau guru masih belum masuk kelas, dia akan melarang siapa pun masuk kelas lebih dulu," ucap Israella.

Di Asisi, Obama bersekolah dari 1968 hingga 1970 awal. Selanjutnya ia pindah ke Sekolah Dasar 01 Besuki, Menteng (sekarang Sekolah Dasar Negeri Menteng 01, Jalan Besuki) saat kelas III. Barry bersekolah di Besuki cuma sampai akhir kelas IV. Dia kemudian melanjutkan pendidikan dasarnya di Hawaii, Amerika Serikat.

Sandra Sambuaga-Mongie, 47 tahun, mengenang Barry sebagai kawan yang mudah berteman dan tak gampang marah. Sementara itu, Widiyanto, karyawan Prima Cable Indo, tak pernah lupa pada tangan kidal Barry. Obama sering menunjukkan gambar-gambar tokoh superhero, seperti Batman dan Spiderman, hasil coretan tangan kidalnya. "Ia juga ikut pramuka dan karate," ujar Widiyanto.

Fotografer Rully Dasaad, 48 tahun, mengenang Obama sebagai kawan yang sama-sama hiperaktif. Barry dan Rully dikenal tak bisa diam dan kerap menebarkan bau apak keringat kepada kawan-kawan mereka setelah bermain kasti. "Saya ingat waktu ikut pramuka, Barry pernah diikat oleh kakak kelas karena tak bisa diam," ujarnya.

Rully juga merekam cerita tiga bulan pertama Obama bersekolah di sekolah dasar Besuki. Barry tak pernah mau menyanyi. Tapi, setelah itu dia senang menyanyikan lagu-lagu perjuangan Indonesia. Salah satu lagu kesukaannya: Maju Tak Gentar.

Obama kecil adalah Obama yang punya kehidupan berwarna. Ia cerdas, mudah bergaul, melindungi teman-temannya, berusaha keras belajar bahasa Indonesia, senang menyanyi lagu perjuangan, menimba sendiri air sumur di rumahnya, dan suka mengenakan kain sarung pemberian ayah tirinya.

Tentunya, kelincahan, kecerdasan, dan kreativitas Obama turut diwarnai oleh guru-gurunya, baik saat SD Asisi maupun saat di SDN Menteng I Jakarta. Guru tersebut adalah Bu Israekka dan Pak Effendi. Pak Effendi mungkin bukan siapa-siapa namun turut muridnya murid yang kini menjadi salah satu kandidat presiden Amerika.

Perjumpaan Effendi dengan Obama memang hanya sekejap. Tahun 1969, Obama datang ke Indonesia untuk tinggal bersama ayah tirinya, Lulu Soetoro. Sang ibu, Stanley Ann Dunhamm lalu mendaftarkan Obama ke SD Negeri Besuki Menteng, Jakarta. Uniknya, Obama sampai sekarang masih mengira SD langganan anak-anak pesohor dan pejabat negeri itu sebagai sekolah publik biasa. Dalam biografinya, Obama bahkan menulis merasa beruntung pernah merasakan bersekolah di sebuah SD, di negara yang miskin.

Obama tak menyadari teman-teman sekelasnya dulu anak-anak pejabat dan pengusaha terkemuka Indonesia. Sebagian besar teman-temannya tinggal di kawasan elite Menteng, berbeda dengan Obama yang tinggal di kawasan Parung, Jakarta. Perbedaan ini tak terasa, gara-gara teman-teman sekelas Obama senang berjalan kaki ramai-ramai pergi dan pulang sekolah.



Ingatan Effendy masih kuat. Dia masih mengenali anak-anak didiknya yang kini sudah beranak cucu. Bahkan Effendi bisa mengomentari kebiasaan mereka. Satu-persatu, dia membisikkan pada saya, latar belakang 10 teman sekelas Obama yang hadir malam itu.

Effendi masih berumur 25 tahun, saat dua kali berturut-turut menjadi wali kelas Obama. Menurutnya, Obama cenderung penurut tapi senang berbicara. Di ingatan Effendi, kandidat presiden Amerika itu hanya seorang anak gendut, berkulit coklat dan berambut keriting yang sulit melafalkan huruf r dalam bahasa Indonesia. Anak itu senang belajar dan punya rasa keingintahuan yang besar. Setiap kali waktu istirahat Obama menghampiri Effendy, mengajak mengobrol.

Dari gambaran di atas, terlihat jelas bahwa terjadi persinggungan antara guru Indonesia dan Obama. Dalam persinggungan itu akan terjadi penguatan nilai pedagogis yang sari konseptualnya melekat dalam bawah sadar Obama. Nah, kenangan bawah sadar yang dialami terutama cita-cita menjadi presiden, kini muncul dalam dunia realitas. Guru Indonesia berjasa atas penguatan endapan bawah sadar yang kini menyembul ke dunia realitas dalam konteks pilpres Amerika Serikat. Hidup guru Indonesia.


Sumber ramuan: Majalah Tempo, 21 April 2008; www.mail-archive.com/ppiindia@yahoogroups.com; kabar-indonesia.com. Gambar:kabarindonesia.com/ www.rollingstone.com

1 komentar:

Sutining mengatakan...

Alhamdulillah saya Sutining Pak, saya mampu menghadapi ujian skripsi Senin kemarin dengan tenang. Mudah-mudahan hasilnya juga sesuai dengan harapan saya. Amin

Saya terkesan dengan artikel Bapak yang sangat jarang saya temui di mana pun. Baik tema maupun isinya berbeda dengan artikel pendidikan yang lain. Mengenai peran guru yang menentukan kepribadian dan keberhasilan anak didik tersebut sangat menakjubkan. Di mana guru Indonesia mampu mengantarkan keberhasilan tokoh besar dan mempunyai cita-cita besar juga semasa kecil. Manariknya lagi, keberhasilan dimulai dari pelajaran mengarang khususnya Bahasa Indonesia. Tepuk Tangan buat guru-guru Indonesia. Selalu saya tunggu artikel Bapak yang baru yang membuat saya semakin bersemangat menjadi guru.