Oleh Suyatno
Ketika seorang siswa ber-danem (daftar nilai ebtanas murni) pas-pasan, saat itulah, dia akan masuk perangkap diskriminasi pendidikan. Siswa itu sudah tidak lagi diharapkan masuk sekolah pemerintah. Karena saat ini, sekolah pemerintah (baca negeri)hanya menampung anak rakyat yang berprestasi di arena kognitif semata. Jika berprestasi rendah, siswa mulai masuk anak swasta yang serba diwarnai diskriminasi.
Diskriminasi pertama, siswa akan masuk keranjang tidak mampu secara kognitif. Mereka akan masuk sekolah swasta yang dianggap sekolah nomor dua setelah negeri. Anehnya, nasyarakat menerima diskriminasi ini dengan berlomba-lomba menjaga gengsi yang ditandai dengan memasukkan anaknya ke negeri.
Kecuali sekolah swasta yang madiri dan kaya, sekolah swasta pinggiran selalu serba kekurangan, baik dana, sarana, maupun kognisi siswa karena buangan dari negeri yang telah terdiskriminasi. Anehnya, media massa tidak akan pernah melirik siswa yang masuk keranjang diskriminatif ini. Yang diekspos selalu siswa yang berada di negeri dengan potensi yang bagus.
Diskriminasi kedua, pemerintah selalu memandang sekolah swasta sebagai sekolah di luar jangkauannya. Yang selalu menjadi bahan untuk dikembangkan selalu didominasi sekolah negeri. Akibatnya, pandangan sebelah mata pun terjadi.
Diskriminasi ketiga, siswa yang tidak masuk negeri dianggap sebagai biang kenakalan dan ketidakaturan dalam bersikap. Ucapan, "biasa anak swasta ya nakal seperti itu"; "anak swasta selalu buku dilipat di saku"; dan seterusnya.
Padahal, kalau dirunut lebih jauh, siswa sekolah swasta berjumlah lebih banyak dari siswa di negeri karena kapasitas yang tidak mencukupi. Untuk itu, sudah menjadi tugas pemerintah untuk menampung mereka karena tanggung jawab berdasarkan UUD 1945, pemerintah berada di garda depan. Penerintah wajib menomorsatukan upaya pengembangan sekolah swasta dan segera pula menambah sekolah baru atau ruang kelas baru.
Gejala mendiskriminasi pendidikan sangat tampak di Surabaya. Saat ini, sekolah swasta di bawah naungan PGRI harus hengkang dari gedung numpang. Pemkot Surabaya beranggapan bahwa gedung itu hanya untuk sekolah negeri. Padahal, PGRI sangat berjasa untuk menampung siswa yang terdiskriminasi dari sekolah negeri. PGRI turut pula memberikan kelegaaan masyarakat karena anaknya dapat ditampung dari situ. Pemkot harus sadar bahwa gedung sekolah itu milik rakyat. Nah, siswa dari PGRI juga anak rakyat. Untuk itu, mengapa tidak dikembangkan saja menjadi sekolah yang berdimensi untuk semua. Biarlah siswa PGHRI numpang karena memang tidak ada gedung dan berbayar murah. Bagaimana menurut Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar