Rabu, 06 Oktober 2010

Guru di Mata Mbok Siti (75)

"Tikar baru ya, Mbok", tanyaku setelah melirik tikar yang aku duduki.

"Iya, anakku. Kebetulan ada rejeki dari menjual seekor kambing", jawab Mbok yang murah senyum itu.

"Tikar ini bagus, Mbok", selaku memuji.

"Tikar ini bagus karena ada sentuhan pembuatnya yang menganyam penuh rencana, teratur, teliti, dan tekun", kata Mbok Siti sambil memegangi tikar yang beranyam warna merah dan hijau berpadu apik. Andai tidak ada rencana, bahan tikar ini hanya sekadar bahan tikar yang tidak berfungsi. Berkat kepedulian penganyam yang memanfaatkan bahan tikar menjadi alas duduk atau tidur, tikar ini berubah menjadi bermanfaat.

"Begitu pula, guru, anakku. Dia harus mempunyai rencana yang matang untuk mengembangkan siswanya menjadi manusia bermanfaat.

"Di samping mempunyai rencana, guru haruslah teratur, teliti, dan tekun menghadapi siswa demi siswa sesuai karakter dasarnya", jelasnya. Memang butuh waktu. Tapi waktu justru akan mengantarkan kinerja guru menjadi bermanfaat seperti tikar ini.

Guru Sidoarjo Mantapkan Diri dengan Media Pembelajaran

        Pengelola pendidikan Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, tidak ingin guru-gurunya mengajar dengan gaya lama yang mengandalkan verbalistis alias ceramah. Perkembangan dan pergeseran gaya mengajar ke arah penggunaan media kreatif sesuai dengan kondisi siswa saat ini menjadi titik perhatian pendidikan di Sidoarjo. Secara bertahap, dari guru TK, SD, SMP, SMA, dan SMK dilatih memproduksi dan menggunakan media pembelajaran secara kreatif. Hal itu dilaksanakan secara bertahap sejak bulan Juni yang lalu kemudian tuntas pada 6 Oktober 2010.
        "Media kreatif, praktis, dan bermakna yang mengandung pendidikan ada di sekitar guru", ujar Suyatno, yang memandu workshop pembuatan dan pengembangan media kreatif itu. Media kreatif sangat dekat dengan siswa dan murah meriah. Betapa tidak. Batu kerikil di sekitar rumah dapat dijadikan media pembelajaran matematika atau pelajaran yang lain. Kardus bekas, kaleng bekas, atau apa saja dapat disulap menjadi media bermanfaat untuk memudahkan siswa cepat paham dan mampu mengausai pelajaran.
        Pada kesempatan pelatihan pembuatan media itu, guru-guru praktik langsung membuat media. Hasilnya, luar biasa bagus-bagus. Ada guru yang membuat kartu rumus untuk memudahkan siswa menguasai rumus matematika dengan cepat. Ada pula yang membuat miniatur paru-paru dari balon dan paralon kecil. Satu per satu media ciptaan guru itu dipamerkan di depan untuk dilihat, direviu, dan diamati bersama-sama. Bravo pendidikan Sidoarjo!

Guru di Mata Mbok Siti (74)

Hujan tiada hentinya meski menurut kebiasaan pada bulan-bulan September sampai Oktober tanah Mbok Siti dipastikan musim kering dan panas. Entah perubahan apa yang terjadi sampai-sampai musim kering menghilang dan bersembunyi di ketiak musim hujan. Tapi tak apalah, musim hujan pun justru menyegarkan udara meski banyak petani yang merugi.
"Mbok, mengapa tetap tersenyum simpul seperti itu? Padahal, hujan tiada berhenti", tanyaku. Mbok Siti masih saja asyik dengan menggelar tikar dan menunjukkan diri selalu ceriah.
"Nak, mengapa hujan membuat seseorang sedih dan sebaliknya mengapa musim panas juga membuat orang bersedih?" jawabnya enteng sambil menyilakan aku duduk di tikar ruang tengah yang tampak kokoh tapi terkesan lama itu.
"Musim itu anugerah dan bagian dari kehidupan yang dapat menuntun manusia hidup", katanya. Aku terdiam sambil melirik kopi yang diturunkan Mbok Siti. Lalu, Mbok Siti duduk di depanku.
"Memberikan berkah kehidupan, anakku" tambahnya.
"Anakku, begitu pula, seorang guru haruslah seperti hujan yang memberikan kesegaran bagi bumi dan seisinya", ujar Mbok Siti yang berbaju hitam seperti kemarin-kemarin.
Guru yang baik haruslah memberikan kesegaran dan kesejukan bagi pribadi siswanya. Siswa tumbuh dan berkembang akibat kesejukan yang diciptakan guru sesuai dengan porsi dan kondisi siswa. Jadilah hujan yang memberikan kesuburan bagi tanaman yang tumbuh berseri menghiasi bumi dan memberikan manfaat bagi kehidupan.

Jumat, 01 Oktober 2010

Demi Keutuhan NKRI, Pancasila Perlu Diajarkan Intensif

Dewan Harian Daerah (DHD) Angkatan 1945 Jawa Timur meminta Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh memasukkan kembali Pancasila ke dalam mata pelajaran di sekolah karena nilai-nilai Pancasila sudah mulai dilupakan masyarakat. "Pancasila harus dilestarikan lewat pendidikan mulai dari SD hingga perguruan tinggi," kata Ketua Bidang Infokom DHD 45 Jatim Ir Suhardi Djaharuddin di Surabaya, Jumat (1/10/2010).

Suhardi mengemukakan hal itu menanggapi Hari Kesaktian Pancasila yang cenderung dilaksanakan secara seremonial di berbagai daerah. Menurut dia, Pancasila yang sekarang cenderung dipinggirkan itu membuat perilaku pemerintah dan masyarakat akhir-akhir ini semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila.

"Peminggiran Pancasila dalam segala aspek membuat pemerintah dan masyarakat semakin jauh dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persaudaraan, permusyawaratan, dan keadilan," katanya.

Oleh karena itu, ia menilai pengajaran Pancasila merupakan hal yang tak dapat ditawar lagi meski mungkin cara yang dilakukan harus menyesuaikan dengan kondisi sekarang, seperti dengan outbound atau wisata ke lokasi bersejarah.

Mantan Pembantu Rektor III Universitas 45 Surabaya itu menegaskan bahwa pengajaran Pancasila memang akan menarik bila diajarkan dengan pengalaman atau dengan kemasan kekinian.

"Yang penting, bukan justru diserahkan sekolah, tapi harus diwajibkan lagi sebab pelajaran Pancasila sudah semakin mendesak diajarkan lagi, apalagi konflik horizontal sudah terjadi di mana-mana karena unsur kedaerahan lebih menonjol daripada keindonesiaan," katanya. (sumber: Kompas.com/1 Oktober 2010)

Teroris, Tawuran, dan Perampokan Cermin Lunturnya Kebangsaan

Tiap hari, berita sibuk mengedepankan teroris, tawuran, dan perampokan yang bertubi-tubi terjadi di tanah air. Ada tangis. Ada duka. Ada geram. lalu, seolah-olah negara dipermainkan oleh mereka. Pindah-pindah merupakan lokus yang menyertai peristiwa bengis dan keji itu. Apakah harus tetap terjadi seperti itu? Tidak!

Semua warga, tidak terkecuali, miskin atau kaya, di desa atau kota, tua atau muda, compang-camping atau rapi, harus menyikapi peristiwa itu sebagai gangguan awal bagi negara. Untuk itu, persatuan dengan kesadaran tinggilah obatnya.

Peristiwa memalukan Indonesia itu jika dikaji lebih mendalam sebenarnya merupakan lunturnya nilai kebangsaan dalam dada rakyat ini. Akibatnya, rakyat tidak seberapa peduli dengan gejala dini sebelum peristiwa terjadi karena dianggap bukan urusannya. Jika sikap ini terus menumpuk, bukan tidak mungkin, akan terjadi peristiwa yang lebih besar dan mengkhawatirkan.

Tentunya, saat komplotan itu rapat mempersiapkan perbuatannya, ada masyarakat yang melihatnya. Tapi, masyarakat itu tidak sampai ke puncak kesadaran melapor ke orang lain. Bagi pelaku sendiri, mental untuk mencari keuangan dengan cara halal pun tertutup dengan sikapnya sendiri. Nah, dengan begitu, rasanya, perlu dirintis pendidikan kebangsaan dan nasionalisme perlu dipertajam, diperkuat, dan diharuskan. Bravo Indonesia.

Guru di Mata Mbok Siti (73)

Perbincangan siang yang panas ini cukup lama sehingga waktu pun serasa tidak ada batasnya. Mbok Siti memang layak berbicara lama untuk menelurkan gagasan yang tidak pernah habis dan gagasan itu bermakna. Sambil mengunyah singkong rebus, aku khidmat meletakkan telinga di tempatnya. Tiba-tiba, aku terhenyak melihat semut berbaris menyusul singkong di piring.

"Mbok, kok banyak semut?" tanyaku.
"Ya jelas banyak semut karena ada singkong dan daerah rumah ini tempat semut hidup", jawabnya ringan.
"Tapi, mengapa semut itu sangat berani?" kataku menunggu jawaban.

"Semut itu harus berani sehingga dapat meneruskan kehidupan semut selanjutnya", jawabnya. Andai saja semut itu takut dengan ayam karena akan dimakan, takut dengan trengiling karena juga dimakan, takut dengan air karena takut tenggelam, dan takut-takut yang lainnya, semut itu tidak akan pernah hidup.
Jadi, guru hebat tidak boleh pernah takut untuk mencapai pembelajaran yang sebenarnya. Guru beranilah yang ditunggu siswanya.

Rabu, 29 September 2010

Guru Dikelilingi Tembok Istana Kemalasan

Banyak guru yang tertutup oleh alasannya sendiri dalam menghadapi perubahan mengajar. Alasan itu seperti tembok istana sebuah kerajaan yang berdiri kokoh dan kuat sebagai penahan ampuh pengaruh luar yang kemungkinan masuk kapan pun. Mau tahu alasan guru tembok istana kerajaan? Berikut ini alasannya.
  1. 1.       Tidak Sempat karena Sibuk
    2.       Menyalahkan Orang Lain
    3.       Murid Tidak Pandai
    4.       Belum Ada Instruksi
    5.       Buat Apa Susah-Susah
    6.       Tidak Mungkin Dijalankan
    7.       Tidak Ada Contoh Nyata
    8.       Hanya Guru Pinggiran
    9.       Ingin Praktis Saja
    10.   Sarana Pendukung Tidak Ada
    Alasan di atas selalu berdengung keras ketika ada ajakan untuk berubah dari gaya mengajar klasik, kuno, dan tradisional ke mengajar yang mengasyikkan, menantang, dan mengarah pada potensi sejati siswa. Siapa yang salah? Janganlah kita meyalahkan dan mencari kambing hitam tetapi marilah dicari upaya mengubah alasan menjadi kekuatan untuk bergerak secara dinamis membangun citra mengajar guru.

Gerakan Pramuka Jangan Tinggal Kenangan

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Surya, 13 Agustus 2010)
Oleh Dr. Suyatno, M.Pd. 
Dosen Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya
  
Akankah Gerakan Pramuka yang besok (14 Agustus 2010) merayakan ulang tahun ke-49 menjadi sekadar kenangan bagi bangsa ini? Tentunya, semua pihak berharap agar Gerakan Pramuka selalu menjadi kendaraan penggemblengan anak bangsa  dan menjadi pilar pendidikan karakter kebangsaan. Gerakan Pramuka, sebagai salah satu wadah pendidikan kepramukaan yang mengutamakan satya darma dan kode kehormatan merupakan benteng pencegah masuknya pelunturan nilai kehidupan seperti ketidakjujuran, korupsi, apatis, asosial, manipulatif, dan sebagainya. Hal itu diakui oleh mereka yang pernah digembleng dalam wadah Gerakan Pramuka saat itu. Bahkan, mereka merindukan hal yang pernah dialami juga dialami oleh anak-anaknya. Hanya saja, saat ini sepertinya Gerakan Pramuka hilang ditelan bunyi akibat pengaruh berbagai hal yang mampu menutupi peran strategis Gerakan Pramuka.
Pengaruh buruk bagi Gerakan Pramuka  disebabkan pertama, pengelolaan organisasi kepramukaan satu-satunya itu masih banyak berjalan seperti biasanya, mengalir statis, dan klasik. Jika dua puluh tahun yang lalu pengelolaan kepramukaan berjalan seperti itu, saat ini, kepramukaan juga dikelola seperti itu juga. Dalam kepramukaan terlihat tanpa perubahan, tanpa gairah, dan tanpa nuansa baru. Hal itu dapat dibuktikan melalui kesamaan pola pengelolaan dan kegiatan dari dahulu sampai sekarang. Ketua Gerakan Pramuka sejak dahulu selalu dijabat oleh pejabat setempat yang kesibukan di kantornya menumpuk sehingga kurang perhatian terhadap berjalannya pengelolaan organisasi. Pada ujungnya, Gerakan Pramuka dikelola dengan cara sambilan. Apalagi, pendanaan kepramukaan banyak yang hanya sebagai pelengkap semata. Masih banyak kwartir cabang yang hidupnya dari dana pelengkap dan bergantung pada jumlah bantuan yang minimal yang diberikan tanpa kepastian dan ketetapan.
Kedua, rendahnya kepedulian orang dewasa saat ini dalam membangun generasi muda dibandingkan dengan orang tua yang dahulu membesarkan orang dewasa itu. Lihat saja, dahulu ketika orang dewasa masih disebut anak-anak, para orang tua mereka memberikan fasilitas kegiatan yang lumayan bagus dan beragam, memberikan kesempatan berkemah, berkegiatan praktis. Saat ini, jarang orang dewasa yang gantian memperhatikan anak-anak sebagai tanggung jawab sebagai manusia penerus peradaban akibat kesibukan kerja. Saat ini, yang peduli pada Gerakan Pramuka hanya tinggal pembina pramuka semata, yang lainnya tidak peduli seperti waktu dulu.
Ketiga, pergeseran minat anak. Anak-anak saat ini lebih berminat dengan hal-hal yang praktis, instan, bebas, membanggakan, dan tidak terikat. Lihat saja, anak lebih senang dengan video game atau handphone game sambil menyendiri di suatu tempat dalam waktu yang lama daripada harus berkegiatan yang mengeluarkan keringat, tenaga, dan gerakan. Padahal, nilai yang diperoleh bagi dirinya lebih banyak dari kegiatan di lapangan yakni kekuatan, keberhasilan, usaha, kejujuran, sosialisasi,  daripada dari game yang hanya bernilai kecerdasan saja. Sebuah kewajaran jika anak-anak mempunyai sikap seperti itu karena pengaruh budaya yang melandanya.
Keempat, muatan kepramukaan kurang kemasan yang menarik. Banyak kegiatan kepramukaan yang hanya menarik sesaat bagi anak-anak yang mengikutinya. Setelah beberapa minggu, anak-anak menemukan kebosanan karena menu kegiatan tidak memberikan daya konstan yang menarik. Akibatnya, banyak pramuka yang keluar dari lingkaran pendidikan kepramukaan. Menu kegiatan tidak dikelola oleh pembina secara menarik dan menantang.
Kelima, pembina pramuka berkualitas sangat kurang. Saat ini, bisa dihitung dengan jari pembina pramuka yang berkualitas sesuai dengan kemampuannya. Kebanyakan pembina pramuka yang ada tidak berlatarbelakang kepramukaan melainkan latar belakang keguruan karena banyak pembina pramuka yang berasal dari guru. Padahal, kepramukaan harus dikelola oleh pembina pramuka yang kuat pengalaman kepramukaannya. Anak-anak yang dahulunya aktif di kepramukaan, setelah besar, tidak mau kembali ke pramuka untuk mengabdikan dirinya demi generasi muda. Padahal, saat ini, banyak yang dahulunya pramuka menjadi manajer, guru besar, direktur, pengusaha, pedagang, dan seterusnya. Ke mana mereka?
Itulah lima problema kepramukaan yang mendesak untuk segera dipecahkan oleh berbagai kalangan jika tidak mau Gerakan Pramuka hanya tinggal kenangan. Solusi yang diharapkan dapat mengembalikan jati diri Gerakan Pramuka sebagai berikut. Pertama, revitalisasi Gerakan Pramuka dijalankan dengan secara matang, nyata, dan kuat. Perencanaan berdasarkan fakta di lapangan yang dilakukan untuk menunjang pelaksanaan sesuai perkembangan zaman. Revitalisasi menjadi sebuah keharusan.
Kedua, kesadaran orang dewasa, baik itu orangtua, pejabat, dan masyarakat harus bersatu padu membangun wadah pendidikan yang cocok bagi anak-anaknya yang kelak meneruskan kehidupan ini. Kepedulian itu harus tulus bukan kepedulian yang seakan-akan atau seolah-olah.
Ketiga, kemasan dan penyesuaian aktivitas kepramukaan terhadap kondisi dan situasi anak-anak sangat diperlukan. Semua aktivitas dikemas dengan nuansa yang menarik, menantang, praktis, membanggakan, dan bertujuan dalam konterks kekinian. Dunia anak sekarang memang berbeda dengan dunia anak waktu dahulu. Kondisi perbedaan dunia anak-anak itulah yang harus diperhatikan.
Keempat, perbanyak pembina pramuka yang berkualitas melalui berbagai kesempatan. Kesempatan untuk menjadi pembina pramuka harus diperluas tidak hanya sebatas dari kalangan guru tetapi disebar ke semua kalangan. Misalnya, pelatihan pembina pramuka dibuka untuk karyawan telkom, PLN, manajer perusahaan, dokter, jaksa, dan sebagainya. Memang selama ini, memang pembina pramuka terbuka untuk umum. Hanya saja, kepedulian dari pimpinan perusahaan, perkantoran, atau apa saja belum muncul untuk itu.
Bagaimanapun, Gerakan Pramuka harus bertahan dengan luka yang teramat menganga demi generasi muda bangsa ini. Minimal, masih ada generasi yang dibesarkan dari wadah pendidikan nilai dan sikap yang senyatanya. Pada kondisi bangsa yang penuh penyimpangan ini, tentu, Gerakan Pramuka menjadi wadah yang strategis dalam mencegah penyimpangan itu.######

Guru Resah, Bolehkah?

Karena guru juga manusia, tentu, resah juga akan dimiliki juga olehnya. Hanya saja, jika guru resah bertubi-tubi dan berkali-kali di depan siswanya, tentu, resah juga akan turut mengganggu hasil belajar siswa. Betapa tidak. Siswa akan tertulari resah juga. Oleh karena itu, meskipun guru resah, sedapatnya, keresahan itu dapat disembunyikan dari amatan siswa.

Jangan sampai, guru inginnya mencetak generasi yang gembira, semangat, dan optimis kustru berbalik menjadi generasi resah, pesimistis, penakut, dan perundung malu. Nah, sedapatnya juga, guru dapat memanajemeni resah miliknya.

Resah atas prestasi siswa yang dicapai selama ini yang menurun tentu diharapkan untuk segera diganti dengan tindakan yang positif. Resah yang semacam itu diperbolehkan. Yang tidak boleh adalah resah berkepanjangan dan tidak berkaitan dengan pendidikan bagi siswanya.

jadi, guru tidak boleh resah sentimentil yang berkepanjangan. Resah diperbolehkan asal untuk kemajuan pendidikan siswanya.

Selasa, 06 Juli 2010

Guru di Mata Mbok Siti (72)

Akulah orang yang bisa dikatakan sombong karena memang lama sekali tidak bertemu dengan MBok Siti hanya alasan kesibukan yang tiada habisnya. Kalau alasanku, bukan sombong, tetapi sedikit teralihkan dengan kesibukan lain.

Betul juga dugaanku. Kata yang pertama disuarakan Mbok Siti adalah kesombongan. "Sombong ya, baru sekarang dapat bertemu", kata Mbok sambil tersenyum. Lalu, cepat ditambahkan dengan kata, "Bukan sombong kok nak, hanya saja tidak punya waktu ke sini", elaknya.

"Anakku, penghalang utama seorang guru adalah kesombongan kepada siswanya", tukasnya. Kesombongan memunculkan pembatas dan jarak antara siswa dengan seorang guru. Kemudian, kedekatan seorang guru pelan-pelan akan sirna berubah menjadi awan pekat sebagai pembatas yang melahirkan siapa saya dan siapa kamu.

"Jadilah guru yang tidak ada wan kesombongan sedikit pun kepada siswa mana pun", kata MBok Siti tersenyum ramah.