Senin, 18 November 2013

Kenangan Kunjungan SM3T di Sumba Timur: Tidak ada Sepatu, Sandal pun Jadi



Tidak ada rotan akar pun jadi. Tidak ada sepatu, sandal jepit pun jadi. Peribahasa itulah yang sangat pas untuk siswa di Sekolah Satu Atap (Satap) di Petamawai, Kecamatan Mahu, Kabupaten Sumba Timur, termasuk di sekolah lain, di tempat lain, di pelosok Sumba Timur. Satap di Mahu terletak di lembah yang diapit oleh dua bukit. Jalan menuju ke sekolah itu hanya cukup untuk satu mobil dengan perseneling gigi satu dengan jalan yang naik dan turun bertikungan tajam. Jika bersalipan dengan mobil lain, salah satu mobil harus mundur untuk mencari tempat yang agak lebar. Karena jalan yang dilalui naik turun, berkerikil, dan setapak, anak-anak sangat akrab dengan sandal jepit daripada akrab dengan sepatu. Dari SD sampai SMP, semua memakai sandal jepit untuk alas kaki mereka.
Dengan sandal jepit itu, anak-anak melintasi bukit dan menyibak rerimbunan rumput untuk pergi dan pulang dari sekolah. Kadang anak-anak menaiki bukit dengan kemiringan tinggi, kadang pula mereka menuruni bukit yang curam dan berbatu. Perjalanan yang mereka tempuh dari rumah ke sekolah sekitar dua jam atau sejauh 5 km. Demi ilmu, jalan panjang itu dilalui dengan ikhlas oleh anak-anak.
Mengapa tidak memakai sepatu? Rata-rata anak menjawab dengan serempak. “Kami tidak punya sepatu, Bapak.” Sepatu sesekali mereka gunakan jika tidak hujan atau acara khusus yang diadakan oleh sekolah, seperti upacara hari nasional. Itupun tidak semua anak mampu memakai sepatu. “Sepatu saya hanya satu, rusak lagi. Jadi, lebih baik pakai sandal saja, biar sepatu aku tidak cepat rusak,” ujar si Kuddu, siswa perempuan dari SMP. Mereka beranggapan bahwa sepatu nomor dua, yang nomor satu adalah sekolah.
Sandal jepit merupakan kelengkapan utama untuk berjalan mereka. Sandal jepit yang tipis-tipis itu mampu melapisi kulit dari sentuhan kerikil tajam, duri, dan bongkahan batu. Kemudian, ketika masuk kelas, sendil jepit itu tetap dipakai. Rasanya, anak-anak sangat nikmat dengan sandal jepit itu.
Sandal jepit yang mereka pakai pun kadang ada yang terlalu besar. Mungkin saja, itu sandal milik orang tuanya. “Sandal saya entah ke mana. Ini sandal milik bapak saya,” ujar Nobet, salah satu siswa SMP di Satap itu. Terlihat pula, mereka sangat lihai memakai sandal. Ketika berlari, berhenti tiba-tiba, meloncat, dan menendang, sandal mereka tidak terlepas. Seolah-olah, mereka sangat ahli menggunakan sandal jepit itu.
Guru SM3T di Sumba Timur yang bertugas di sekolah itu menyadari akan penggunaan sandal jepit itu. Memang, ketika pertama datang, para guru SM3T yang lama mengenyam dunia sepatu di perkotaan itu, sempat risih melihat anak-anak bersandal jepit. Namun, ketika mengetahui kondisi yang sebenarnya, mereka maklum juga. Kondisi geografis yang berat, ekonomi keluarga yang serbakurang, dan kebiasaan jalan jauh, memberikan alasan tersendiri untuk bersandal jepit. Bahkan, sekolah sangat maklum dengan kondisi itu. Siapa tahu, dari sandal jepit, mereka menjadi orang elit di kemudian hari.

Tidak ada komentar: