Tidak ada rotan akar pun jadi. Tidak ada sepatu, sandal
jepit pun jadi. Peribahasa itulah yang sangat pas untuk siswa di Sekolah Satu
Atap (Satap) di Petamawai, Kecamatan Mahu, Kabupaten Sumba Timur, termasuk di sekolah
lain, di tempat lain, di pelosok Sumba Timur. Satap di Mahu terletak di lembah
yang diapit oleh dua bukit. Jalan menuju ke sekolah itu hanya cukup untuk satu
mobil dengan perseneling gigi satu dengan jalan yang naik dan turun bertikungan
tajam. Jika bersalipan dengan mobil lain, salah satu mobil harus mundur untuk
mencari tempat yang agak lebar. Karena jalan yang dilalui naik turun,
berkerikil, dan setapak, anak-anak sangat akrab dengan sandal jepit daripada
akrab dengan sepatu. Dari SD sampai SMP, semua memakai sandal jepit untuk alas
kaki mereka.
Dengan sandal jepit itu, anak-anak melintasi bukit
dan menyibak rerimbunan rumput untuk pergi dan pulang dari sekolah. Kadang
anak-anak menaiki bukit dengan kemiringan tinggi, kadang pula mereka menuruni bukit
yang curam dan berbatu. Perjalanan yang mereka tempuh dari rumah ke sekolah
sekitar dua jam atau sejauh 5 km. Demi ilmu, jalan panjang itu dilalui dengan
ikhlas oleh anak-anak.
Mengapa tidak memakai sepatu? Rata-rata anak
menjawab dengan serempak. “Kami tidak punya sepatu, Bapak.” Sepatu sesekali
mereka gunakan jika tidak hujan atau acara khusus yang diadakan oleh sekolah,
seperti upacara hari nasional. Itupun tidak semua anak mampu memakai sepatu. “Sepatu
saya hanya satu, rusak lagi. Jadi, lebih baik pakai sandal saja, biar sepatu
aku tidak cepat rusak,” ujar si Kuddu, siswa perempuan dari SMP. Mereka
beranggapan bahwa sepatu nomor dua, yang nomor satu adalah sekolah.
Sandal jepit merupakan kelengkapan utama untuk
berjalan mereka. Sandal jepit yang tipis-tipis itu mampu melapisi kulit dari
sentuhan kerikil tajam, duri, dan bongkahan batu. Kemudian, ketika masuk kelas,
sendil jepit itu tetap dipakai. Rasanya, anak-anak sangat nikmat dengan sandal
jepit itu.
Sandal jepit yang mereka pakai pun kadang ada yang
terlalu besar. Mungkin saja, itu sandal milik orang tuanya. “Sandal saya entah
ke mana. Ini sandal milik bapak saya,” ujar Nobet, salah satu siswa SMP di
Satap itu. Terlihat pula, mereka sangat lihai memakai sandal. Ketika berlari,
berhenti tiba-tiba, meloncat, dan menendang, sandal mereka tidak terlepas.
Seolah-olah, mereka sangat ahli menggunakan sandal jepit itu.
Guru SM3T di Sumba Timur yang bertugas di sekolah
itu menyadari akan penggunaan sandal jepit itu. Memang, ketika pertama datang,
para guru SM3T yang lama mengenyam dunia sepatu di perkotaan itu, sempat risih
melihat anak-anak bersandal jepit. Namun, ketika mengetahui kondisi yang
sebenarnya, mereka maklum juga. Kondisi geografis yang berat, ekonomi keluarga
yang serbakurang, dan kebiasaan jalan jauh, memberikan alasan tersendiri untuk
bersandal jepit. Bahkan, sekolah sangat maklum dengan kondisi itu. Siapa tahu,
dari sandal jepit, mereka menjadi orang elit di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar