Oleh Dr. Suyatno, M.Pd.
Dosen Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas
Negeri Surabaya
Sampai
kapan pun, pembelajaran di kelas tidak akan pernah berhasil secara maksimal
jika guru sebagai aktor tidak berjiwa merdeka. Kunci keberhasilan seorang guru
salah satunya terletak pada kemerdekaan pikiran dan batin guru saat berada di
depan siswanya. Guru seharusnya merdeka dalam menentukan perencanaan sesuai
dengan rambu dasarnya, merdeka dalam melaksanakan model pembelajaran dengan
tanggung jawab ke arah pencapaian tujuan pembelajaran, dan merdeka dalam
menerapkan segala kemampuan mengajarnya di bawah bimbingan pengawas atau kepala
sekolahnya. Guru merdeka selalu mendekati siswanya dengan arah yang
mendidik dengan sentuhan asasi kemanusiawian.
Namun, saat ini,
kemerdekaan guru telah luntur dengan banyaknya pesanan dan peraturan pembelajaran
yang terasa susah dicerna oleh guru di lapangan. Guru merasa terikat dengan
aturan pembelajaran yang seolah-olah mengharuskan guru menggunakan model
pembelajaran tertentu. Guru merasakan kesulitan ketika diminta untuk mengubah
gaya mengajar dengan gaya yang dianggap orang lain lebih baik. Seolah-olah guru
tidak mempunyai kemampuan apa-apa dan tidak diberikan kepercayaan dalam
mengolah kemampuannya di kelas. Pokoknya guru harus dianggap orang yang lemah
yang perlu digelontor oleh wacana pembelajaran modern dari luar dirinya.
Ketidakpercayaan kepada
guru terhadap cara mengajarnya sehingga guru tidak merdeka berlangsung cukup
lama. Sejak 1978, guru digiring untuk melaksanakan belajar aktif melalui
program CBSA. Program tersebut berharap agar guru menempatkan siswa sebagai
individu yang dapat secara aktif terlibat dalam pembelajaran. Menurut konsep
CBSA pembelajaran “student center”
merupakan salah satu faktor agar pembelajaran di kelas dapat berhasil. Lewat Proyek
Pengembangan Pendidikan Guru (P3G) dilakukan penataran teknik dan strategi
pelaksanaan CBSA kepada 7000 pendidik guru (5000 guru SPG dan 2000 dosen
IKIP/FKIP) dengan harapan mereka akan menyebarkan gagasan pembaharuan ini ke
tingkat sekolah melalui para lulusannya. Hasilnya? Tidak ada hasil yang
diharapkan. Hasil penelitian Balitbang Depdikbud tersebut saat itu menggambarkan
kurang berhasilnya penerapan CBSA karena sistem pendidikan pada waktu itu,
pengelolaannya masih dilakukan di pusat, dan sekolah tidak mempunyai kewenangan
untuk melakukan inovasi kecuali hanya melaksanakan apa yang diterimanya.
Ketika Contextual Teaching and Learning (CTL)
dikenalkan di Indonesia awal 1996-an sebagai model pembelajaran yang lebih
dianggap mampu membawa siswa sebagai subjek belajar, para guru menyambutnya
dengan sangat antusias. Bahkan, sejak dilakukan pelatihan CTLO dengan gencar
sejak tahun 2000-an oleh pemerintah, CTL bergulir dengan cepatnya seperti bola
salju yang menggelinding dan membesar. Namun, saat ini, setelah sepuluh tahun
bergulir, gaung CTL hanya sebatas ingatan di sebagian guru tanpa menyentuh
tingkat penerapan yang total dan tidak mampu mendongkrak prestasi belajar
siswa. Di sisi lain, banyak guru, tiap hari, senantiasa menggunakan CTL sebagai
satu-satunya model yang dianggap tepat meskipun tidak mengangkat prestasi siswa
karena menurut kacamata guru hanya CTL yang diperbolehkan digunakan untuk
pembelajaran.
Guru yang teramat paham
dengan model CTL banyak yang mendewakan model tersebut sebagai satu-satunya
sarana mengajar yang dianggap paling tepat. Untuk Kompetensi Dasar apapun, guru
tersebut selalu menggunakan CTL. Seakan-akan guru menjadi pengikut aliran model
CTL dan meminggirkan model pembelajaran yang lainnya. Padahal, CTL bukanlah
satu-satunya model pembelajaran yang cukup ampuh. Masih banyak model lain yang juga
ampuh karena situasi, kondisi, tujuan, dan subjek belajar yang
berbeda-beda. Bahkan, CTL diplesetkan
menjadi Catat Tinggal Langsung,
artinya siswa mencatat lalu guru meninggalkan kelas secara langsung.
Pada akhirnya, guru
terkesan dibelenggu oleh kehebatan CTL sampai-sampai dianggap dewa penguasa
yang mengalahkan segalanya. Kondisi tersebut tentu akan merusak pembelajaran
yang sesungguhnya, yakni pembelajaran yang mampu mencapai tujuan. Tidak ada
model pembelajaran yang paling bagus dan tidak ada model pembelajaran yang
paling buruk. Model pembelajaran yang dianggap bagus jika tidak dapat mencapai
tujuan dengan bagus, berarti model tersebut dapat dinyatakan buruk. Model yang
selama ini dianggap buruk namun dapat mengantarkan ke hasil belajar yang bagus
tentu model tersebut dianggap bagus untuk pencapaian tujuan tersebut.
Pembebasan
dari Kungkungan Sebuah Model Pembelajaran
Untuk
mencapai hasil pembelajaran yang maksimal yang ditandai oleh ketercapaian kompetensi
dalam diri siswa, guru perlu dibebaskan dari kungkungan sebuah model
pembelajaran. Bebaskan guru dari monomodel CTL. Biarkan guru berkreasi dengan
model pembelajaran yang dianggapnya lebih cocok dan tepat dalam pembelajaran
sesuai dengan kondisi masing-masing. Berilah kemerdekaan guru dalam memilih
model pembelajaran. Jika guru dikungkung dengan CTL, pengalaman lama akan
muncul kembali. Pengalaman tersebut adalah penawaran CBSA secara gencar namun
pada akhirnya CBSA diartikan buruk sebagai Catat
Buku Sampai Abis.
Fontana
(2011) menyatakan bahwa budaya inovasi ditentukan oleh kemerdekaan diri dalam
berlaku dan bertindak. Guru masa depan ditentukan oleh kekuatan individu guru
dalam memerankan diri sebagai agen perubahan sejati. Sebagai agen perubahan,
dalam diri guru harus terdapat jiwa obsesional, kebebasan dan kemerdekaan,
pembaharuan, dan tanggung jawab tinggi dalam menerapkan kinerja dasar sebagai
pengelola pembelajaran di kelas. Dengan begitu, dia dapat merdeka dalam
menentukan model pembelajaran yang akan digunakan di kelas berdasarkan tanggung
jawabnya. Finlandia sebagai negara dengan predikat nomor satu dalam pendidikan
pada tahun 2008 memberikan tradisi bagi guru untuk secara merdeka dan mandiri
menentukan bentuk-bentuk pembelajaran asalkan dapat mencapai tujuan
pembelajaran secara gemilang. Bagi Finlandia, panduan sentralistik tidak
diperlukan karena hanya membuang energi dan melepaskan energi kreativitas dan
inaovatif yang asasi dari seorang guru.
Kenyataan yang ada saat
ini, di Indonesia, pelaksanaan pendidikan di sekolah harus bersumber pada
delapan standar yang telah digariskan, salah satunya adalah standar proses. Tidak
perlu panduan yang sentralistik untuk mendesain pembelajaran seperti yang tetuang
dalam peraturan menteri pendidikan nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses
pembelajaran yang mewajibkan kegiatan inti harus bermuatan eksplorasi,
kolaborasi, dan konfirmasi. Peraturan tersebut membelenggu guru dalam
mengembangkan model pembelajaran yang lainnya karena model pembelajaran yang
dikembangkan harus berbasis ekslorasi, kolaborasi, dan konfirmasi.
Seolah-olah, tiga
kegiatan tersebut sebagai satu-satunya jalan bagi pelaksanaan kegiatan inti
dalam pembelajaran. Padahal tidak demikian kiranya dalam penerapan model
pembelajaran di kelas. Banyak tipe lain yang justru lebih mampu melancarkan
pembelajaran dalam mencapai tujuan dengan maksimal. Apalagi, di sisi lain, guru
tidak terbiasa dengan model eksplorasi, kolaborasi, dan konfirmasi. Guru lebih
terbiasa dengan gayanya sendiri namun tetap berorientasi pada ketercapaian
kompetensi.
Eksplorasi, kolaborasi,
dan konfirmasi lebih banyak menekankan agar siswa senantiasa mengekplorasi di
setiap waktu padahal tidak semua KD harus ditempuh melalui jalan eksplorasi.
Bisa jadi, tanpa eksplorasi siswa lebih cepat mengenal dan memahami materi
pembelajaran karena siswa lebih mengutamakan kreativitasnya. Kolaborasi
mengharuskan siswa untuk senantiasa berkelompok dalam memahami materi pembelajaran
padahal banyak KD yang dapat ditempuh tanpa harus berkelompok. Seolah-olah,
siswa harus berkolaborasi untuk menguatkan jiwa sosial. Jiwa sosial tidak harus
dipaksakan dalam kegiatan inti karena pada kegiatan di luar kelas atau
kesempatan lain justru menanamkan jiwa sosial yang lebih tinggi. Konfirmasi
mengharuskan siswa meminta pembenaran dari teman dan gurunya. Hal itu tidak
memberikan pengalaman bagi siswa dalam memupuk percaya diri. Sebaliknya, siswa
terdidik untuk selalu tidak yakin karena harus menunggu konfirmasi terlebih
dahulu.
Pemberian
garis panduan pembelajaran dengan eksplorasi, kolaborasi, dan konfirmasi memang
bertujuan baik untuk memberikan acuan guru dalam mengajar di kelas. Namun,
justru panduan itu mengikat guru agar selalu berpedoman pada eskplorasi,
kolaborasi, dan konfirmasi. Untuk menempuh pola eksplorais, kolaborasi, dan
konfirmasi tersebut, guru lebih memaknai dengan pengharusan model CTL sebagai
model yang telah dianggapnya dewa. Bukankah guru terbiasa dengan berpijak pada
aturan sehingga jiwa merdekanya menipis.
Rekonstruksi
Pendidikan Melalui Inovasi Model Pembelajaran
Sejalan
dengan perkembangan zaman yang penuh warna teknologi, guru tidak luput dengan
sentuhan teknologi juga. Guru masa depan adalah guru yang berbasis teknologi
dalam menjalankan pembelajaran di kelas. Teknologi yang digunakan tentunya
diwarnai oleh kebaruan, kecepatan, kepraktisan, dan ketepatan dalam mencapai
tujuan pembelajaran. Salah satu modal dasarnya adalah kekuatan guru sebagai
subjek pelaksana dan penanggung jawab keberhasilan pembelajaran sehingga
diperlukan jiwa merdeka. Betapa tidak. Ke depan, jika guru tidak merdeka, dia
akan mudah diombang-ambingkan informasi bertubi-tubi dari berbagai tipe
teknologi. Ujung-ujungnya, karena terombang-ambing, zaman akan melahirkan guru
yang bimbang, potong kompas, penuh kepalsuan, dan guru seolah-olah guru. Dengan
begitu, guru harus kuat dan kokoh dalam perannyasehingga mampu berlayar di
gelombang kemajuan zaman. Dasar kekuatan dan kekokohan itu tidak lain dan tidak
bukan adalah jiwa merdeka.
Jalan
menuju penciptaan guru merdeka sangatlah mudah, semudah membalikkan telapak
tangan karena dalam diri guru sudah terdapat potensi kemerdekaan yang asasi.
Guru merdeka ditandai oleh rasa tanggung jawab diri, percaya diri, keberanian
diri, dan eksistensi diri dalam berpikir, bertindak, dan berperilaku. Pemberian
kepercayaan penuh kepada guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi pembelajaran merupakan modal utama. Jangan menaruh curiga atas
ketidakmampuan guru. Jangan pula menganggap rendah kemampuan guru. Yang ada
adalah anggapan bahwa guru juga manusia yang mempunyai kemampuan yang sama
dengan yang lain. Sikap merendahkan kemampuan guru adalah awal hegemoni
terhadap guru sehingga selamanya tidak percaya kepada kemampuan peran guru.
Untuk itu, diperlukan
rekonstruksi pendidikan yang mengarah pada inovasi model pembelajaran yang
berbasis merdeka bagi guru dalam menjalankan tugasnya. Langkah-langkah yang
perlu ditempuh sebagai berikut. Pertama,
memberikan kepercayaan penuh kepada guru untuk berinovasi secara merdeka dengan
berpegang teguh pada ketercapaian tujuan pembelajaran. Artinya, garis
pembelajaran tidak digelontorkan dari pusat dengan satu peraturan yang mengikat
penuh melainkan pembebasan guru dalam mengelola model pembelajaran yang diperoleh,
diolah, dan dikemas secara mandiri dengan tanggung jawab tinggi. Apakah guru
menggunakan model ceramah, CTL, kooperatif, humanistis, kolaboratif, Scout
Method, induktif, deduktif, atau apa saja tidak menjadi soal. Yang terpenting
adalah guru dapat mengubah siswa dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mampu
menjadi mampu, dari liar menjadi berkarakter, dan dari statis menjadi siswa
visioner. Kedua, pemerintah secara
ketat menciptakan keamanan psikologis bagi guru dalam berkreasi dan berinovasi
yang didasari oleh jiwa merdeka. Ruang gerak guru dalam berkreasi dan
berinovasi difasilitasi tanpa harus campur tangan dari sisi penentuan model
pembelajaran. Tidak ada sentralistik penggunaan model pembelajaran melainkan
kemerdekaan diri dalam menentukan model pembelajaran yang dipilih. Ketiga,
menciptakan mekanisme kinerja guru yang mampu menguatkan ide baru dari guru. Pemerintah
menciptakan mekanisme yang dapat menyaring ide-ide kreatif dan inovatif guru di
mana pun, dari mana pun, dan kapan pun dengan penghargaan yang sepadan dengan
jerih payah guru. Keempat, membuka
seluas-luasnya sumber informasi bagi guru dengan penyediaan yang cepat, tepat,
dan bermanfaat. Dalam berkreasi dan berinovasi secara merdeka, guru tidak
berkesulitan dalam memanfaatkan sumber pendukung bagi penentuan model
pembelajaran di kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar