Kamis, 03 Februari 2011

Guru di Mata Mbok Siti 97

Matanya masih setajam elang. Kakinya sekuat akar jati. Pendengarannya sedetail batik Jogja. Hatinya selembut embun. Pikirannya menjangkau langit. Hanya tangannya sedikit bergetar. Itulah Mbok Siti di mataku. Aku mencuri pandang gerak jari yang gemetar saat memegangi gelas. Suara gemeretak gelas di atas piring penyangga tidak dapat menipu saat diangkat tangan Mbok Siti. Aku terharu.

“Tangan ini sudah tidak sempurna, anakku”, ucapnya kilat.

Aku kaget setengah mati. “Kok Mbok Siti tahu apa yang ada dalam pikiranku”, gumamku.

“Mbok sakit ya”, kataku.

“Tidak sakit, anakku”, ujarnya pelan sambil menyilakan tangan pertanda aku segera meminumnya.

“Tanganku gemetar kira-kira lima tahun belakangan ini sejalan dengan usia tuaku”, kata Mbok yang kelihatan tegar itu.

“Tapi, aku tidak akan pernah berhenti berpikir dan bekerja anakku”, jelasnya lebih lanjut. Manusia itu tidak boleh berhenti bertindak selama napas masih melekat dalam tubuh. Guru hebat juga harus berani sampai titik darah terakhir. Napasnya adalah energi kehidupan. Jangan hanya masalah ringan, guru menghentikan langkahnya sebagai guru. Jiwanya harus sekuat cengkeraman kaki elang. Pikirannya harus seluas lautan. Gagasannya harus menjangkau perut bumi. Kegembiraannya harus seceriah matahari. Bergeraklah selama masih mampu bergerak.

“Guru jangan sampai pernah berhenti melaju karena jiwa siswa tidak akan pernah berhenti”, katanya. Jiwa siswa melaju seperkasa harimau dalam mengayunkan kilatan terkaman kukunya. Itulah dunianya.

Tidak ada komentar: