Aku sangat enggan untuk segera meninggalkan rumah Mbok Siti meski malam mulai menantang datang. Waktu teramat berharga. Sedetik pun, aku larang untuk terlewatkan. Betapa tidak. Setiap kali berbicara dengan Mbok Siti, tersirat siraman dahaga bagiku yang menjalankan tugas sebagai guru ini.
Aku duduk santai di temani ubi rebus dan teh manis. Mbok Siti juga asyik di sebelahku sambil memilih benih kedelai untuk ditanam di ladangnya. Putaran tampah (anyaman bambu dalam bentuk lingkaran dengan sulam padat) bergerak seirama memancing mataku juga mengikuti irama putarannya. Itulah cara termudah untuk memilih benih yang bagus selain harus diapilih satu-satu. Dengan cara itu, Mbok Siti akan segera mendapatkan benih kedelai yang besar-besar, mentes (padat), dan utuh. Benih pilihan itu diletakkan di wadah besek (sejenis wakul kecil) kemudian biji kecil ditempatkan ke wadah lain, panci penyok karena sudah lama.
“Praktis ya Mbok cara begini”, tanyaku sambil memperagakan tangan seperti memutar tampah.
“Iya, Nak. Inilah proses turun-temurun dari nenek moyang untuk memilih benih yang bagus”, ujarnya sambil terus memutar tampah itu. Ada konsentrasi, ada proses, ada tindakan, dan ada cara sehingga mampu menentukan biji yang benar-benar bagus.
“Nah, guru juga harus menggunakan proses yang bagus untuk menentukan siswa yang bagus”, ujarnya. Tahapan untuk menentukan siswa yang bagus harus dilakukan dengan benar. Guru tidak boleh asal-asalan menentukan siswa pilihan hanya dengan melihat fisik siswa semata. Lihatlah lebih dalam kekuatan dan kehebatan sejati diri siswa. Lalu, jangan sampai siswa yang tidak terpilih dibuang tetapi harus juga bermanfaat meski untuk kesempatan yang berbeda.
“Anakku, memang semua anak mempunyai potensi yang sama namun juga mempunyai ukuran potensi yang berbeda”, simpulnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar