Oleh Suyatno
/1/
Ketika di hadapan peserta Musyawarah
Nasional (Munas) Gerakan Pramuka di Kupang, NTT, awal Desember 2013, mendikbud,
Prof. Dr. Muhammad Nuh, melontarkan bahwa lembaga yang bagus harus sampai ke
tingkat transformer. Mantan rektor ITS itu mengatakan bahwa ada empat peran
untuk predikat keberhasilan sebuah lembaga. Keempat peran itu adalah (1)
pendukung (supporter), (2) penggerak
atau pengarah (driver), (3) pemungkin
(enabler), (4) pemicu transformasi (transformer). Pernyataan keempat peran
itu, oleh Pak Nuh, begitu biasa dipanggil, diulangi lagi pada kesempatan
menyambut dalam acara Konvensi Kampus X
dan Temu Tahunan XVI yang diselenggarakan FRI Januari 2014 di Surakarta.
Betapa pentingnya pernyataan itu sampai diulang kedua kali oleh Pak Nuh.
Menurut
M Nuh, peran sebagai penopang adalah peran paling bawah dalam hierarki. Peran
di atasnya adalah penggerak, yang menggerakkan sekaligus mengarahkan. Sebagai
pemungkin, sebuah lembaga bertugas mendobrak ketidakmungkinan melalui
kreativitas dan inovasi. Kemudian, peran paling atas adalah sebagai pemicu
transformasi, yaitu lembaga harus memulai perubahan transformatif. Dia menilai,
dari keempat peran tersebut, peran terpenting bagi perguruan tinggi adalah
sebagai pemicu transformasi. Untuk menjalankan peran tersebut, lanjutnya,
penting bagi perguruan tinggi bergerak sesuai perkembangan zaman.
Di
Surakarta saat itu, Pak Nuh menyebutkan bahwa perguruan tinggi harus bergerak
dinamis. “Pengajarannya harus berubah, jangan itu-itu saja. Risetnya harus
berkembang, jangan itu-itu saja," paparnya.
Betapa bahagianya, jika Unesa naik
kelas. Dari kata “naik kelas”, terbersit perubahan dari belum menjadi sudah,
dari tidak ada menjadi ada, dari lemah menjadi kuat, dari tanpa citra menjadi
penuh citra, dan dari kecil menjadi besar. Kondisi seperti itu tentu mampu
membahagiaan warga Unesa, masyarakat yang terkait, dunia luar, dan alam raya
seisinya. Kondisi tersebut juga memunculkan tataran dan tantangan baru sehingga
mendinamisasikan Unesa untuk terus melejit ke kelas di atasnya.
Saat ini, label naik kelas dapat
disematkan untuk Unesa jika melihat prestasi yang telah diraih kurun empat
tahun ke belakang. Label tersebut ditandai dari dua sisi, yakni sisi
infrastruktur dan suprastruktur. Di tataran infrastruktur, Unesa berada pada kelas
lebih tinggi dari kelas dasar kekumuhan. Lihat saja, di sana sini terlihat pembangunan
dari gedung kuliah, kantor, jalan, selasar, taman, waduk, hutan kota, ruang
kerja, ranu, kantin, bank, pusat kemahasiswaan, dan logo. Perubahan itu
berdampak pada kenyamanan mahasiswa dalam berkuliah, keberterimaan masyarakat
terhadap kampus yang mereka kunjungi, kelegaan dosen dalam menikmati ruang
bekerja, dan siswa yang merindukan berkuliah di Unesa. Ujungnya, kampus mampu
menelurkan segudang prestasi kinerja warganya.
Perubahan kelas seperti tergambar di
atas bukan tidak memerlukan kepemimpinan dan manajemen tersendiri. Tidaklah
mungkin, dana untuk mengembangkan infrastruktur itu hanya sebatas dana dari
mahasiswa. Tentu, dana itu bersumber dari mana-mana. Tidak mungkin pula, secara
tiba-tiba, muncul bangunan. Kepemimpinan yang baik yang ditunjang manajemen
yang jitu tampaknya turut mempengaruhi keberhasilan infrastruktur itu.
Di tataran suprastruktur, Unesa masih
berada di kelas yang sama, yakni sebagai pendukung dan penggerak saja.
Dikatakan masih di kelas yang sama karena jauh sebelum empat tahun lalu, Unesa
juga berada pada kelas pendukung dan penggerak. Unesa masih sebatas pendukung
program Jakarta, seperti pelaksana PPG, PLPG, Penelitian dan Pengabdian, Hibah
Doktor, SM3T, KKT, KKN, dan sebagainya. Program tersebut dirancang dan dikemas
dari Jakarta (baca kemendikbud) untuk dilaksanakan serentak di berbagai
perguruan tinggi asal proposal dapat memenuhi syarat pemesannya. Sebagai
penggerak, Unesa mampu menjalin kerja sama dengan pihak lain seperti sekolah
model (Unesa—Kabupaten Kutai Timur), penyebaran informasi pembelajaran yang
baik (Unesa—Bank Dunia), pusat konfusius (Unesa—Pemerintah Cina), Pendampingan
guru (Unesa—Provinsi Jatim; Jombang; Surabaya; Sidoarjo; Gresik; Bontang
Kaltim), Program CE (Continuing Education)
(Unesa—Surabaya), dan sebagainya.
Suprastruktur yang mampu menembus
tingkat pemungkin masih dapat dihitung dengan jari. Program yang bertaraf
pemungkin tersebut adalah laman Unesa yang mampu menembus ranking 2 dunia
setelah Universitas di California; Robot dan mobil irit yang masuk ke jajaran
nasional dan internasional; Bank sampah yang diakui Surabaya; Pemenang festival
teater di Mesir; Pendidikan inklusi yang mendapatkan penghargaan menteri; Jumlah
pendaftar ke Unesa yang melejit jumlahnya; Penerbitan berbagai judul buku
pendidikan yang dibagi-bagikan ke setiap tamu yang berkunjung; Majalah Unesa
yang terbit tiap bulan; Laman Wapik yang berisi pembelajaran yang Baik; dan
beberapa lainnya.
Namun, meskipun kemajuan suprastruktur masih
sporadis seperti di atas, tentu, jika terus digarap dengan serius, Unesa akan
mampu masuk ke kelas transformasi. Kemampuan itu didukung oleh keberhasilan
yang melewati kelas yang dimiliki perguruan tinggi lain. Dari segi posisi,
Unesa menang satu kelas. Untuk itu, sekali lagi, manajemen kuat diperlukan
untuk terus menggarap momentum keberhasilan tersebut.
/2/
Selama ini, Unesa merupakan lembaga yang
rajin, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya dalam melaksanakan tugas dari
Jakarta, seperti yang telah disebut di bagian /1/ di atas. Karena banyak
luncuran program seperti itu, seakan tidak ada program Unesa yang mampu
menasional dan berada pada peran pemungkin dan transformatif. Seolah-olah,
semua amunisi dan energi habis terkuras untuk kesuksesan perjalanan program
pesanan tersebut.
Posisi di tingkat peran pertama memang
baik karena menyukseskan program nasional. Hanya saja, jika Unesa asyik-asyikan
di tingkat pertama itu, lalu lupa dengan tingkat peran di atasnya, Unesa akan
tertinggal jauh dari perguruan tinggi lainnya. Unesa akan senantiasa setia di
kelasnya semata. Lihat saja, ITB mulai masuk ke tingkat transformatif dengan
program membuka prodi di Malaysia. UGM menggandeng puluhan perguruan tinggi di
luar negeri. Unesa, dengan jumlah tenaga akademis yang banyak dan berkualitas
di bidangnya itu, tentu tidak hanya pada kelas pemungkin saja tetapi harus
berani masuk ke tingkat transformasi.
FT
sudah mengibarkan bendera ISO, sebagai simbol pengelolaan birokrasi akademis
yang standar. Namun, pengibaran bendera itu tidak dengan cepat diikuti oleh
fakultas lain. Seolah-olah, bendera ISO bukan menjadi kebutuhan mendesak.
Petanda yang ditunjukkan FT tidak menjangkiti inisiatif dan imajinasi fakultas
lain dengan serta-merta. Bisa jadi, fakultas lain menunggu kebijakan wajib dari
pusat (baca rektor). Padahal,
masyarakat transformasi ditandai oleh inisiatif dan imajinasi yang kreatif.
Begitu pula, pola administrasi on-line yang digunakan BAAKPSI Unesa
yang menguntungkan mahasiswa itu hanya sebatas di tingkat pusat. Fakultas atau
jurusan tidak mampu menerapkan pola on-line
itu ke dalam skala mini. Jika setiap tindakan mahasiswa di jurusan tercatat
secara on-linu, tentu, dengan mudahnya, dosen atau orang tua mahasiswa dapat melihat
perkembangan kualitas sang mahasiswa. Contohnya, di semester tertentu, orang
tua dengan akses tertentu, dapat mengetahui bila anaknya mengikuti seminar di
Jakarta, berkemah di gunung, kursus jurnalistik, lomba musik, dan seterusnya.
Yang baru diketahui hanya nilai, sks yang ditempuh, dan dosen pembimbingnya.
Andai data kualitas mahasiswa dapat terjangkau, Unesa akan lebih banyak dikenal
dengan prestasi mahasiswanya. Bukankah dari 25.000-an jumlah mahasiswa Unesa,
pasti banyak yang berprestasi akademik maupun nonakademik. Oleh karena itu,
program dunia maya di samping terpusat juga perlu yang bersifat segmental
fakultas atau jurusan.
Keunggulan suprastruktur di kelas
pemungkin sangat baik jika terus dijaga, dimanajemeni lebih kuat, dan dikawal
ketat sehingga pada akhirnya mampu menembus kelas transformasi. Unesa perlu
segera membentuk penanggung jawab khusus untuk intensif mengelola laman Unesa
dengan target ranking pertama mengalahkan Universitas di California; Robot dan
mobil irit harus menyabet juara internasional; Model bank sampah menyebar ke
Indonesia dan dunia; Teater disegani di tingkat dunia; pendidikan inklusi harus
mendapatkan penghargaan dunia; Jumlah pendaftar ke Unesa menjadi tertinggi di
Indonesia; Penerbitan buku diakui mutu dan sebarannya di tingkat dunia; Majalah
Unesa yang terbit tiap bulan dikembangkan menjadi majalah dunia; Laman Wapik
dikembangkan ke berbagai bahasa; dan seterusnya.
Penjagaan kelas pemungkin tersebut harus
ketat sehingga dapat dipastikan masuk ke kelas transformasi. Dana diperbesar
untuk menyokongnya. Sarana disediakan untuk menggelar aktivitas berlatihnya.
Pakar didatangkan untuk terus memupuk kualitasnya. Uji coba dan pencarian lawan
latih senantiasa diadakan untuk perbaikannya. Kemudian, uji kelayakan kelas
terus dilakukan setiap waktu.
Sementara kelas pemungkin dijaga, di
sisi lain, Unesa harus memperkuat fundamental suprastruktur lainnya. Beberapa
lini yang perlu diperkuat adalah pertama, jurnal ilmiah; Selama empat tahun
ini, tidak ada jurnal ilmiah yang berakreditasi nasional apalagi internasional.
Terlihat pengelolaannya bergaya lama (pembentukan redaksi, penentuan naskah,
dan terbit, tanpa bantuan super maksimal). Andai saja, Unesa berani
menyingsingkan lengan dengan cara memberi dana lebih, umpamanya setiap
penerbitan didanai 50 juta, tentu, redaksi tidak lagi berpusing dua kali. Tiap
penerbitan diberi tenaga khusus untuk administrasi dan pengolahan desain untuk
setiap jurnal. Ruang jurnal disatukan dalam kondisi layak kerja. Lalu,
pengelola jurnal ditarget untuk berkreditasi A. Tentu, kelas Unesa dalam hal
jurnal akan meningkat. Pengelola
terlihat kelelahan dari sector pendanaan dan ruang.
Kedua, kekokohan sumber belajar yang
dirintis berupa buku kuliah hasil pencarian dosen, yang pendanaan di tanggung
Unesa, tidak berjalan. Program tersebut sangat bagus namun tenggelam di tengah
jalan. Lagi-lagi, modusnya karena tidak dikelola dengan baik di tingkat
aplikasi. Andai saja, program itu dijalankan dengan sepenuh hati, tentu, lain
soal hasilnya. Misalnya, tiap dosen senantiasa memburu buku baru di tingkat
internasional. Buku itu diterjemahkan oleh dosen. Ongkos penerjemahan
ditinggikan. Hasil terjemahan disebarluaskan ke nusantara. Dosen itu menjadi
terkenal, Unesa turut terkenal, dan dana yang diberikan akan segera kembali
jika dikelola penerbitan sendiri. Dosen itu kemudian membentuk klub kajian
untuk menyeminarkan isi buku, mendesiminasikan dampak isi buku, dan membuat
buku yang senada. Tiap tahun, tiap semester, dosen harus dituntut untuk
menerjemahkan buku yang khas sesuai dengan mata kuliahnya. Dosen tersebut
didampingi dosen seniornya. Tentu, hal itu, akan turut menaikkan kelas.
Ketiga, kaderisasi guru besar hanya
berjalan apa adanya. Pengurusan berlarut-larut akibat ketidakpastian acuan
sangat terjadi. Pembinaan khusus dengan pengawalan yang rutin dan pasti tidak
terjadi. Selama ini, sang calon guru besar terseok-seok melangkahkan kaki dalam
kurun waktu yang panjang dan melelahkan. Bisa jadi, sang calon akan frustasi
dan tidak mau menginjakkan kaki di jenjang guru besar karena betapa susah dan
pahitnya jalan yang ditempuh. Andai saja, setiap dosen yang bergelar doktor dan
berjabatan lektor kepala dikawal ketat dengan pendampingan penuh kesetiaan dan
kemitraan, tentu banyak guru besar baru yang bermunculan.
Keempat, inisiatif program transformasi
murni dari Unesa untuk dunia belum muncul. Andai saja, Unesa dengan serius
merumuskan formula pendidikan atau keilmuan yang mampu dengan jitu mendongkrak
kualitas guru, tentu, Unesa akan naik kelas dan dikenal dunia luas. Cobalah,
formula pendidikan yang mampu menarik minat para gubernur, bupati, atau pemilik
modal untuk menjajal formula itu. Tunjukkan kalau formula itu sangat cepat
menaikkan mutu pendidikan. Hal itu sangat mungkin karena Unesa mempunyai pakar
handal, gedung bagus, dan nama yang berharga jual.
Kelima, penerbitan yang berkaliber
nasional masih jauh panggang dari api. Penerbitan Unesa masih dikenal di
kelas-kelas Unesa sendiri dengan judul-judul yang spesifik dan khas mata kuliah
yang diampuh dosen. Buku yang menjangkau masyarakat luas baik dari sisi
fenomena dan makna isinya masih beredar di area sempit dan untuk kepentingan
kepangkatan semata. Ada buku-buku berbobot dari dosen tetapi tidak diterbitkan
penerbit Unesa, melainkan diterbitkan di luar yang harga dan kualitasnya
bermutu. Ada mimpi yang menjangkau. Mimpi itu adalah penerbitan Unesa mampu
menyaingi kelas di atasnya. Tiap orang yang ingin membaca ilmu tertentu, pasti
berpikirnya adalah penerbit Unesa. Di toko buku manapun, terpampang buku terbitan
Unesa. Lalu, suatu ketika, buku-buku Unesa diterjemahkan oleh negara lain
karena mutunya. Unesa menjadi naik kelas ke transformasi penerbitan dan
mendapatkan hasil yang melimpah.
Keenam, penelitian dan pengabdian
masyarakat masih sebatas pesanan pusat dan berjudul ringan. Bisa saja, suatu
ketika, penelitian yang dilakukan Unesa mampu menghebohkan dunia, misalnya
dosen Unesa menemukan bahan bakar mobil berbasis angin, obat HIV-AIDS dari daun
ubi, obat kanker dari senam X, atau temuan unik lainnya. Keunggulan itu tentu
suatu saat akan dinanti dunia. Bahkan, ada lembaga lain yang senantiasa
menggunakan sumber daya dari Unesa. Bisa jadi, hal itu terjadi meski hanya
mimpi.
Ketujuh, jebolan Unesa masih
dianaktirikan dari jebolan perguruan tinggi lain, kecuali yang berbasis
pendidikan. Lihat saja, lulusan ilmu murni dari Unesa sangat sulit menembus
pekerjaan di bidangnya karena kalah dari perguruan tinggi sejenis lainnya.
Selama ini, perlakuan dan sentuhan hati kepada mahasiswa berbasis pendidikan
lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang berbasis ilmu murni. Diakui atau
tidak, hampir setiap hari yang dipikirkan dosen Unesa senantiasa masalah
pendidikan keguruan dibandingakn masalah ilmu murni. Andai saja, ada niat,
perlakuan, dan program utuh dan kuat untuk memaksimalkan perkuliahan untuk
prodi murni, pasti suatu saat perlakuan masyarakat akan bergeser. Dengan menu
tertentu, mahasiswa ilmu murni menjadi serba brilian, cekatan, dan bernyali
kerja professional, tentu, pihak lain akan melirik jebolan Unesa.
Kedelapan, jejaring internasional Unesa
masih dikenal oleh segelintir perguruan tinggi di negara lain. Meskipun saat
ini Unesa sudah menjalin kerja sama dengan Hankuk University of Foreign
Studies, Seoul, South Korea
(seminar), Pusan National University,
Korea (olahraga), Burapha University
dan Princes
of Songkla University Thailand; Curtin
Universty, Australia; Utrecht
University, Belanda (pascasarjana); Universitas Wuhan dan Universitas
Hanban, Cina (prodi Mandarin), dan lainnya. Namun, kerja sama itu harus terus
ditingkatkan sampai suatu saat setiap jurusan mempunyai prodi kembar di
universitas luar negeri. India dengan kekuatan perkuliahan teknologi dan
filmnya sangat mungkin akan melirik Unesa untuk bekerja sama. Afrika yang dipenuhi
oleh negara yang unggul di pertambangan suatu hari akan bekerja sama dengan
Unesa. Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Korea yang terkenal dengan inovasi
praktisnya akan melirik Unesa. Universitas di Eropa dengan keilmuan dasarnya
akan memakai Unesa sebagai kawan berbaginya. Itu semua keniscayaan.
Itulah sekilas kekokohan yang mungkin
terjadi untuk masuk ke sisi suprastruktur Unesa. Hal di atas sangat mungkin
dilakukan asalkan ada kemauan kuat dari Unesa. Tidak ada, di dunia ini, yang
tidak bisa. Unesa pasti suatu saat bisa melakukan kiprah untuk berada di kelas
transformasi.
/3/
Memang sudah menjadi sifat manusia untuk
meminta lebih dari sesuatu yang sudah diterima saat ini. Unesa yang sudah mampu
menunjukkan capaian kelasnya tentu masih saja ada yang menginginkan lebih
berkelas lagi. Itu semua wajar. Bahkan, keinginan itu haruslah dijadikan
pelecut untuk terus berkreasi dan berdinamika. Bukankah, keberhasilan yang
bersifat kanon selalu berawal dari berpikir skeptis seperti itu.
Diakui atau tidak, Unesa telah
melejitkan keberhasilan infrastruktur di segala lini. Bahkan, tahun-tahun
mendatang pekerjaan rumah untuk keberlangsungan infrastruktur masih bergulir.
Lihat saja, IDB yang menyetujui beberapa infrastruktur baru masih belum dimulai
pembangunannya. Projek IDB itu tahun depan baru dapat diwujudkan
pembangunannya. Belum lagi, infrastruktur di tingkat jurusan yang terus saja
berbenah.
Infrastruktur itu merupakan fondasi
untuk berbenah menjadi lebih baik. Kalau bukan sekarang memperbaiki
infrastruktur, kapan lagi? Inilah waktu yang tepat untuk membangun daya dukung
dasar agar suprastruktur dapat semakin menemukan jalan keberhasilannya.
Suprastruktur yang ada juga sudah dapat
menunjukkan Unesa sebenarnya mempunyai kemampuan tinggi. Kemampuan itu tidak
kalah dengan perguruan tinggi lain. Capaian suprastrtur tersebut tentunya dapat
menjadi motivator bagi keberhasilan suprastruktur yang lainnya.
Secara internal, Unesa semakin kondusif
dalam mengawal keberhasilan lembaga pencetak diploma, sarjana, master, dan doktor
itu. Kawalan itu sudah dapat dilihat berjalan sesuai dengan relnya. Geliat
mulai terlihat. Budaya akademis mulai tumbuh meski masih berdaun satu. Capaian
seperti tersebutlah yang harus terus dipelihara dengan kesadaran dan
keterlibatan tinggi.
Dari sisi eksternal, Unesa semakin
dikenal oleh masyarakat di Indonesia dan dunia. Lihat saja, pada pendaftar
SNMPTN tahun 2013, calon dari Sumatera Utara ada 500-an, Jawa Tengah ada
1.000-an, Maluku ada 150-an, begitu pula daerah lainnya. Jika ke desa di Jatim,
tanyalah kepada penduduk tentang Unesa, mereka akan menjawab kenal Unesa.
Betapa Unesa dikenal oleh masyarakat terdekat dan terjauhnya. Itu semua terjadi
karena nama Unesa sering disebut oleh orang, media, dan lainnya.
Unesa sering disebut akibat torehan
prestasi seperti penghargaan Anugerah Pendidikan Inklusif 2012, pelobi agar Asian games 2019 diselenggarakan di Indonesia, hutan
kota, SSC, atlet olahraga, wapikweb,
tamu aktor film, sastrawan, kedatangan menteri dan pejabat lainnya,
prestasi seni, campursari Baradha, dan sebagainya. Jika prestasi seperti it
uterus dilejitkan melalui pencitraan media, tentu Unesa akan semakin melekat di
alam pikiran masyarakat. Semua itu menjadi sangat mungkin.
Jalan
sudah ditempuh, anak tangga sudah dilewati, dan laut sudah dilayari. Tibalah,
pelaju berikutnya untuk menempuh jalan, anak tangga, dan kapal agar Unesa
sampai ke tujuan. Dalam setiap perjalanan, suka dan duka pastilah bergiliran
bermunculan. Itu hal biasa. Suka dan duka adalah bagian dari senandung rindu
sang anak petani di tengah sawah. Yang terpenting, Unesa harus berada di atas
segala kepentingan pribadi dan golongan. Unesa harus di puncak tiang tertinggi
untuk membawa warta kebangunan Indonesia raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar