Selasa, 05 Januari 2016

Unesa: Sudah Waktunya Naik Kelas



Oleh Suyatno

/1/
Ketika di hadapan peserta Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka di Kupang, NTT, awal Desember 2013, mendikbud, Prof. Dr. Muhammad Nuh, melontarkan bahwa lembaga yang bagus harus sampai ke tingkat transformer. Mantan rektor ITS itu mengatakan bahwa ada empat peran untuk predikat keberhasilan sebuah lembaga. Keempat peran itu adalah (1) pendukung (supporter), (2) penggerak atau pengarah (driver), (3) pemungkin (enabler), (4) pemicu transformasi (transformer). Pernyataan keempat peran itu, oleh Pak Nuh, begitu biasa dipanggil, diulangi lagi pada kesempatan menyambut dalam acara Konvensi Kampus X dan Temu Tahunan XVI yang diselenggarakan FRI Januari 2014 di Surakarta. Betapa pentingnya pernyataan itu sampai diulang kedua kali oleh Pak Nuh.
            Menurut M Nuh, peran sebagai penopang adalah peran paling bawah dalam hierarki. Peran di atasnya adalah penggerak, yang menggerakkan sekaligus mengarahkan. Sebagai pemungkin, sebuah lembaga bertugas mendobrak ketidakmungkinan melalui kreativitas dan inovasi. Kemudian, peran paling atas adalah sebagai pemicu transformasi, yaitu lembaga harus memulai perubahan transformatif. Dia menilai, dari keempat peran tersebut, peran terpenting bagi perguruan tinggi adalah sebagai pemicu transformasi. Untuk menjalankan peran tersebut, lanjutnya, penting bagi perguruan tinggi bergerak sesuai perkembangan zaman.
Di Surakarta saat itu, Pak Nuh menyebutkan bahwa perguruan tinggi harus bergerak dinamis. “Pengajarannya harus berubah, jangan itu-itu saja. Risetnya harus berkembang, jangan itu-itu saja," paparnya.
Betapa bahagianya, jika Unesa naik kelas. Dari kata “naik kelas”, terbersit perubahan dari belum menjadi sudah, dari tidak ada menjadi ada, dari lemah menjadi kuat, dari tanpa citra menjadi penuh citra, dan dari kecil menjadi besar. Kondisi seperti itu tentu mampu membahagiaan warga Unesa, masyarakat yang terkait, dunia luar, dan alam raya seisinya. Kondisi tersebut juga memunculkan tataran dan tantangan baru sehingga mendinamisasikan Unesa untuk terus melejit ke kelas di atasnya.
            Saat ini, label naik kelas dapat disematkan untuk Unesa jika melihat prestasi yang telah diraih kurun empat tahun ke belakang. Label tersebut ditandai dari dua sisi, yakni sisi infrastruktur dan suprastruktur. Di tataran infrastruktur, Unesa berada pada kelas lebih tinggi dari kelas dasar kekumuhan. Lihat saja, di sana sini terlihat pembangunan dari gedung kuliah, kantor, jalan, selasar, taman, waduk, hutan kota, ruang kerja, ranu, kantin, bank, pusat kemahasiswaan, dan logo. Perubahan itu berdampak pada kenyamanan mahasiswa dalam berkuliah, keberterimaan masyarakat terhadap kampus yang mereka kunjungi, kelegaan dosen dalam menikmati ruang bekerja, dan siswa yang merindukan berkuliah di Unesa. Ujungnya, kampus mampu menelurkan segudang prestasi kinerja warganya.
            Perubahan kelas seperti tergambar di atas bukan tidak memerlukan kepemimpinan dan manajemen tersendiri. Tidaklah mungkin, dana untuk mengembangkan infrastruktur itu hanya sebatas dana dari mahasiswa. Tentu, dana itu bersumber dari mana-mana. Tidak mungkin pula, secara tiba-tiba, muncul bangunan. Kepemimpinan yang baik yang ditunjang manajemen yang jitu tampaknya turut mempengaruhi keberhasilan infrastruktur itu.
Di tataran suprastruktur, Unesa masih berada di kelas yang sama, yakni sebagai pendukung dan penggerak saja. Dikatakan masih di kelas yang sama karena jauh sebelum empat tahun lalu, Unesa juga berada pada kelas pendukung dan penggerak. Unesa masih sebatas pendukung program Jakarta, seperti pelaksana PPG, PLPG, Penelitian dan Pengabdian, Hibah Doktor, SM3T, KKT, KKN, dan sebagainya. Program tersebut dirancang dan dikemas dari Jakarta (baca kemendikbud) untuk dilaksanakan serentak di berbagai perguruan tinggi asal proposal dapat memenuhi syarat pemesannya. Sebagai penggerak, Unesa mampu menjalin kerja sama dengan pihak lain seperti sekolah model (Unesa—Kabupaten Kutai Timur), penyebaran informasi pembelajaran yang baik (Unesa—Bank Dunia), pusat konfusius (Unesa—Pemerintah Cina), Pendampingan guru (Unesa—Provinsi Jatim; Jombang; Surabaya; Sidoarjo; Gresik; Bontang Kaltim), Program CE (Continuing Education) (Unesa—Surabaya), dan sebagainya.
Suprastruktur yang mampu menembus tingkat pemungkin masih dapat dihitung dengan jari. Program yang bertaraf pemungkin tersebut adalah laman Unesa yang mampu menembus ranking 2 dunia setelah Universitas di California; Robot dan mobil irit yang masuk ke jajaran nasional dan internasional; Bank sampah yang diakui Surabaya; Pemenang festival teater di Mesir; Pendidikan inklusi yang mendapatkan penghargaan menteri; Jumlah pendaftar ke Unesa yang melejit jumlahnya; Penerbitan berbagai judul buku pendidikan yang dibagi-bagikan ke setiap tamu yang berkunjung; Majalah Unesa yang terbit tiap bulan; Laman Wapik yang berisi pembelajaran yang Baik; dan beberapa lainnya.
Namun, meskipun kemajuan suprastruktur masih sporadis seperti di atas, tentu, jika terus digarap dengan serius, Unesa akan mampu masuk ke kelas transformasi. Kemampuan itu didukung oleh keberhasilan yang melewati kelas yang dimiliki perguruan tinggi lain. Dari segi posisi, Unesa menang satu kelas. Untuk itu, sekali lagi, manajemen kuat diperlukan untuk terus menggarap momentum keberhasilan tersebut.


/2/
Selama ini, Unesa merupakan lembaga yang rajin, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya dalam melaksanakan tugas dari Jakarta, seperti yang telah disebut di bagian /1/ di atas. Karena banyak luncuran program seperti itu, seakan tidak ada program Unesa yang mampu menasional dan berada pada peran pemungkin dan transformatif. Seolah-olah, semua amunisi dan energi habis terkuras untuk kesuksesan perjalanan program pesanan tersebut.
Posisi di tingkat peran pertama memang baik karena menyukseskan program nasional. Hanya saja, jika Unesa asyik-asyikan di tingkat pertama itu, lalu lupa dengan tingkat peran di atasnya, Unesa akan tertinggal jauh dari perguruan tinggi lainnya. Unesa akan senantiasa setia di kelasnya semata. Lihat saja, ITB mulai masuk ke tingkat transformatif dengan program membuka prodi di Malaysia. UGM menggandeng puluhan perguruan tinggi di luar negeri. Unesa, dengan jumlah tenaga akademis yang banyak dan berkualitas di bidangnya itu, tentu tidak hanya pada kelas pemungkin saja tetapi harus berani masuk ke tingkat transformasi.
            FT sudah mengibarkan bendera ISO, sebagai simbol pengelolaan birokrasi akademis yang standar. Namun, pengibaran bendera itu tidak dengan cepat diikuti oleh fakultas lain. Seolah-olah, bendera ISO bukan menjadi kebutuhan mendesak. Petanda yang ditunjukkan FT tidak menjangkiti inisiatif dan imajinasi fakultas lain dengan serta-merta. Bisa jadi, fakultas lain menunggu kebijakan wajib dari pusat (baca rektor). Padahal, masyarakat transformasi ditandai oleh inisiatif dan imajinasi yang kreatif.
Begitu pula, pola administrasi on-line yang digunakan BAAKPSI Unesa yang menguntungkan mahasiswa itu hanya sebatas di tingkat pusat. Fakultas atau jurusan tidak mampu menerapkan pola on-line itu ke dalam skala mini. Jika setiap tindakan mahasiswa di jurusan tercatat secara on-linu, tentu, dengan mudahnya, dosen atau orang tua mahasiswa dapat melihat perkembangan kualitas sang mahasiswa. Contohnya, di semester tertentu, orang tua dengan akses tertentu, dapat mengetahui bila anaknya mengikuti seminar di Jakarta, berkemah di gunung, kursus jurnalistik, lomba musik, dan seterusnya. Yang baru diketahui hanya nilai, sks yang ditempuh, dan dosen pembimbingnya. Andai data kualitas mahasiswa dapat terjangkau, Unesa akan lebih banyak dikenal dengan prestasi mahasiswanya. Bukankah dari 25.000-an jumlah mahasiswa Unesa, pasti banyak yang berprestasi akademik maupun nonakademik. Oleh karena itu, program dunia maya di samping terpusat juga perlu yang bersifat segmental fakultas atau jurusan.
Keunggulan suprastruktur di kelas pemungkin sangat baik jika terus dijaga, dimanajemeni lebih kuat, dan dikawal ketat sehingga pada akhirnya mampu menembus kelas transformasi. Unesa perlu segera membentuk penanggung jawab khusus untuk intensif mengelola laman Unesa dengan target ranking pertama mengalahkan Universitas di California; Robot dan mobil irit harus menyabet juara internasional; Model bank sampah menyebar ke Indonesia dan dunia; Teater disegani di tingkat dunia; pendidikan inklusi harus mendapatkan penghargaan dunia; Jumlah pendaftar ke Unesa menjadi tertinggi di Indonesia; Penerbitan buku diakui mutu dan sebarannya di tingkat dunia; Majalah Unesa yang terbit tiap bulan dikembangkan menjadi majalah dunia; Laman Wapik dikembangkan ke berbagai bahasa; dan seterusnya.
Penjagaan kelas pemungkin tersebut harus ketat sehingga dapat dipastikan masuk ke kelas transformasi. Dana diperbesar untuk menyokongnya. Sarana disediakan untuk menggelar aktivitas berlatihnya. Pakar didatangkan untuk terus memupuk kualitasnya. Uji coba dan pencarian lawan latih senantiasa diadakan untuk perbaikannya. Kemudian, uji kelayakan kelas terus dilakukan setiap waktu.
Sementara kelas pemungkin dijaga, di sisi lain, Unesa harus memperkuat fundamental suprastruktur lainnya. Beberapa lini yang perlu diperkuat adalah pertama, jurnal ilmiah; Selama empat tahun ini, tidak ada jurnal ilmiah yang berakreditasi nasional apalagi internasional. Terlihat pengelolaannya bergaya lama (pembentukan redaksi, penentuan naskah, dan terbit, tanpa bantuan super maksimal). Andai saja, Unesa berani menyingsingkan lengan dengan cara memberi dana lebih, umpamanya setiap penerbitan didanai 50 juta, tentu, redaksi tidak lagi berpusing dua kali. Tiap penerbitan diberi tenaga khusus untuk administrasi dan pengolahan desain untuk setiap jurnal. Ruang jurnal disatukan dalam kondisi layak kerja. Lalu, pengelola jurnal ditarget untuk berkreditasi A. Tentu, kelas Unesa dalam hal jurnal akan meningkat.  Pengelola terlihat kelelahan dari sector pendanaan dan ruang.
Kedua, kekokohan sumber belajar yang dirintis berupa buku kuliah hasil pencarian dosen, yang pendanaan di tanggung Unesa, tidak berjalan. Program tersebut sangat bagus namun tenggelam di tengah jalan. Lagi-lagi, modusnya karena tidak dikelola dengan baik di tingkat aplikasi. Andai saja, program itu dijalankan dengan sepenuh hati, tentu, lain soal hasilnya. Misalnya, tiap dosen senantiasa memburu buku baru di tingkat internasional. Buku itu diterjemahkan oleh dosen. Ongkos penerjemahan ditinggikan. Hasil terjemahan disebarluaskan ke nusantara. Dosen itu menjadi terkenal, Unesa turut terkenal, dan dana yang diberikan akan segera kembali jika dikelola penerbitan sendiri. Dosen itu kemudian membentuk klub kajian untuk menyeminarkan isi buku, mendesiminasikan dampak isi buku, dan membuat buku yang senada. Tiap tahun, tiap semester, dosen harus dituntut untuk menerjemahkan buku yang khas sesuai dengan mata kuliahnya. Dosen tersebut didampingi dosen seniornya. Tentu, hal itu, akan turut menaikkan kelas.
Ketiga, kaderisasi guru besar hanya berjalan apa adanya. Pengurusan berlarut-larut akibat ketidakpastian acuan sangat terjadi. Pembinaan khusus dengan pengawalan yang rutin dan pasti tidak terjadi. Selama ini, sang calon guru besar terseok-seok melangkahkan kaki dalam kurun waktu yang panjang dan melelahkan. Bisa jadi, sang calon akan frustasi dan tidak mau menginjakkan kaki di jenjang guru besar karena betapa susah dan pahitnya jalan yang ditempuh. Andai saja, setiap dosen yang bergelar doktor dan berjabatan lektor kepala dikawal ketat dengan pendampingan penuh kesetiaan dan kemitraan, tentu banyak guru besar baru yang bermunculan.
Keempat, inisiatif program transformasi murni dari Unesa untuk dunia belum muncul. Andai saja, Unesa dengan serius merumuskan formula pendidikan atau keilmuan yang mampu dengan jitu mendongkrak kualitas guru, tentu, Unesa akan naik kelas dan dikenal dunia luas. Cobalah, formula pendidikan yang mampu menarik minat para gubernur, bupati, atau pemilik modal untuk menjajal formula itu. Tunjukkan kalau formula itu sangat cepat menaikkan mutu pendidikan. Hal itu sangat mungkin karena Unesa mempunyai pakar handal, gedung bagus, dan nama yang berharga jual.
Kelima, penerbitan yang berkaliber nasional masih jauh panggang dari api. Penerbitan Unesa masih dikenal di kelas-kelas Unesa sendiri dengan judul-judul yang spesifik dan khas mata kuliah yang diampuh dosen. Buku yang menjangkau masyarakat luas baik dari sisi fenomena dan makna isinya masih beredar di area sempit dan untuk kepentingan kepangkatan semata. Ada buku-buku berbobot dari dosen tetapi tidak diterbitkan penerbit Unesa, melainkan diterbitkan di luar yang harga dan kualitasnya bermutu. Ada mimpi yang menjangkau. Mimpi itu adalah penerbitan Unesa mampu menyaingi kelas di atasnya. Tiap orang yang ingin membaca ilmu tertentu, pasti berpikirnya adalah penerbit Unesa. Di toko buku manapun, terpampang buku terbitan Unesa. Lalu, suatu ketika, buku-buku Unesa diterjemahkan oleh negara lain karena mutunya. Unesa menjadi naik kelas ke transformasi penerbitan dan mendapatkan hasil yang melimpah.
Keenam, penelitian dan pengabdian masyarakat masih sebatas pesanan pusat dan berjudul ringan. Bisa saja, suatu ketika, penelitian yang dilakukan Unesa mampu menghebohkan dunia, misalnya dosen Unesa menemukan bahan bakar mobil berbasis angin, obat HIV-AIDS dari daun ubi, obat kanker dari senam X, atau temuan unik lainnya. Keunggulan itu tentu suatu saat akan dinanti dunia. Bahkan, ada lembaga lain yang senantiasa menggunakan sumber daya dari Unesa. Bisa jadi, hal itu terjadi meski hanya mimpi.
Ketujuh, jebolan Unesa masih dianaktirikan dari jebolan perguruan tinggi lain, kecuali yang berbasis pendidikan. Lihat saja, lulusan ilmu murni dari Unesa sangat sulit menembus pekerjaan di bidangnya karena kalah dari perguruan tinggi sejenis lainnya. Selama ini, perlakuan dan sentuhan hati kepada mahasiswa berbasis pendidikan lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang berbasis ilmu murni. Diakui atau tidak, hampir setiap hari yang dipikirkan dosen Unesa senantiasa masalah pendidikan keguruan dibandingakn masalah ilmu murni. Andai saja, ada niat, perlakuan, dan program utuh dan kuat untuk memaksimalkan perkuliahan untuk prodi murni, pasti suatu saat perlakuan masyarakat akan bergeser. Dengan menu tertentu, mahasiswa ilmu murni menjadi serba brilian, cekatan, dan bernyali kerja professional, tentu, pihak lain akan melirik jebolan Unesa.
Kedelapan, jejaring internasional Unesa masih dikenal oleh segelintir perguruan tinggi di negara lain. Meskipun saat ini Unesa sudah menjalin kerja sama dengan Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, South Korea (seminar), Pusan National University, Korea (olahraga), Burapha University dan  Princes of Songkla University Thailand; Curtin Universty, Australia; Utrecht University, Belanda (pascasarjana); Universitas Wuhan dan Universitas Hanban, Cina (prodi Mandarin), dan lainnya. Namun, kerja sama itu harus terus ditingkatkan sampai suatu saat setiap jurusan mempunyai prodi kembar di universitas luar negeri. India dengan kekuatan perkuliahan teknologi dan filmnya sangat mungkin akan melirik Unesa untuk bekerja sama. Afrika yang dipenuhi oleh negara yang unggul di pertambangan suatu hari akan bekerja sama dengan Unesa. Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Korea yang terkenal dengan inovasi praktisnya akan melirik Unesa. Universitas di Eropa dengan keilmuan dasarnya akan memakai Unesa sebagai kawan berbaginya. Itu semua keniscayaan.
Itulah sekilas kekokohan yang mungkin terjadi untuk masuk ke sisi suprastruktur Unesa. Hal di atas sangat mungkin dilakukan asalkan ada kemauan kuat dari Unesa. Tidak ada, di dunia ini, yang tidak bisa. Unesa pasti suatu saat bisa melakukan kiprah untuk berada di kelas transformasi.

/3/
Memang sudah menjadi sifat manusia untuk meminta lebih dari sesuatu yang sudah diterima saat ini. Unesa yang sudah mampu menunjukkan capaian kelasnya tentu masih saja ada yang menginginkan lebih berkelas lagi. Itu semua wajar. Bahkan, keinginan itu haruslah dijadikan pelecut untuk terus berkreasi dan berdinamika. Bukankah, keberhasilan yang bersifat kanon selalu berawal dari berpikir skeptis seperti itu.
Diakui atau tidak, Unesa telah melejitkan keberhasilan infrastruktur di segala lini. Bahkan, tahun-tahun mendatang pekerjaan rumah untuk keberlangsungan infrastruktur masih bergulir. Lihat saja, IDB yang menyetujui beberapa infrastruktur baru masih belum dimulai pembangunannya. Projek IDB itu tahun depan baru dapat diwujudkan pembangunannya. Belum lagi, infrastruktur di tingkat jurusan yang terus saja berbenah.
Infrastruktur itu merupakan fondasi untuk berbenah menjadi lebih baik. Kalau bukan sekarang memperbaiki infrastruktur, kapan lagi? Inilah waktu yang tepat untuk membangun daya dukung dasar agar suprastruktur dapat semakin menemukan jalan keberhasilannya.
Suprastruktur yang ada juga sudah dapat menunjukkan Unesa sebenarnya mempunyai kemampuan tinggi. Kemampuan itu tidak kalah dengan perguruan tinggi lain. Capaian suprastrtur tersebut tentunya dapat menjadi motivator bagi keberhasilan suprastruktur yang lainnya.
Secara internal, Unesa semakin kondusif dalam mengawal keberhasilan lembaga pencetak diploma, sarjana, master, dan doktor itu. Kawalan itu sudah dapat dilihat berjalan sesuai dengan relnya. Geliat mulai terlihat. Budaya akademis mulai tumbuh meski masih berdaun satu. Capaian seperti tersebutlah yang harus terus dipelihara dengan kesadaran dan keterlibatan tinggi.
Dari sisi eksternal, Unesa semakin dikenal oleh masyarakat di Indonesia dan dunia. Lihat saja, pada pendaftar SNMPTN tahun 2013, calon dari Sumatera Utara ada 500-an, Jawa Tengah ada 1.000-an, Maluku ada 150-an, begitu pula daerah lainnya. Jika ke desa di Jatim, tanyalah kepada penduduk tentang Unesa, mereka akan menjawab kenal Unesa. Betapa Unesa dikenal oleh masyarakat terdekat dan terjauhnya. Itu semua terjadi karena nama Unesa sering disebut oleh orang, media, dan lainnya.
Unesa sering disebut akibat torehan prestasi seperti penghargaan Anugerah Pendidikan Inklusif 2012, pelobi agar Asian games 2019 diselenggarakan di Indonesia, hutan kota, SSC, atlet olahraga, wapikweb, tamu aktor film, sastrawan,  kedatangan menteri dan pejabat lainnya, prestasi seni, campursari Baradha, dan sebagainya. Jika prestasi seperti it uterus dilejitkan melalui pencitraan media, tentu Unesa akan semakin melekat di alam pikiran masyarakat. Semua itu menjadi sangat mungkin.
Jalan sudah ditempuh, anak tangga sudah dilewati, dan laut sudah dilayari. Tibalah, pelaju berikutnya untuk menempuh jalan, anak tangga, dan kapal agar Unesa sampai ke tujuan. Dalam setiap perjalanan, suka dan duka pastilah bergiliran bermunculan. Itu hal biasa. Suka dan duka adalah bagian dari senandung rindu sang anak petani di tengah sawah. Yang terpenting, Unesa harus berada di atas segala kepentingan pribadi dan golongan. Unesa harus di puncak tiang tertinggi untuk membawa warta kebangunan Indonesia raya.

Tidak ada komentar: