Minggu, 09 Juni 2013

Penelitian di Ujung Angan-Angan



Oleh
Suyatno
Sesekali, cobalah bertanya kepada masyarakat biasa di kampung atau di sebuah desa yang terjauh, entah mereka petani, buruh pabrik, pedagang, atau tukang cendol, tentang arti sebuah penelitian. “Apa penelitian menurutmu.” Mereka pasti akan ramai-ramai menjawab dengan spontan, “Penelitian itu menemukan sesuatu yang bermanfaat.” Kira-kira, itulah jawaban mereka, tidak lebih dan tidak kurang. Lalu, cobalah bertanya kepada warga kampus, entah mereka dosen muda, tua, karyawan, pimpinan, atau mahasiswa tentang pertanyaan yang sama. “Apa penelitian menurutmu.” Kaum kampus pasti menjawab, “Projek!”
Penelitian di kampus telah dimaknai secara part prototo (sebagian untuk mewakili secara keseluruhan) dengan satu kata projek. Padahal, projek merupakan aspek kecil dari sebuah penelitian. Aspek besarnya adalah temuan yang dapat bermanfaat bagi pengembangan dan peningkatan kemanusiawian dalam menjalani hidup di dunia ini. Namun, makna besar sebuah penelitian terkalahkan dengan makna kecil yang bernama projek.
Tidaklah heran akal sehat ini. Penelitian hanya sampai di lemari dokumentasi setelah melewati proses pertanggungjawaban administratif. Ketika tambah tahun, saat waktu berkelana maju, dokumentatif menjadi sebuah rel yang terpola. Pola itu mudah dikenali, yakni tawaran, proposal, penelitian, pemantauan, dan laporan. Pola itu menjadi garis tetap yang harus dijalankan dalam rel tetap pula. Walhasil, penelitian hanyalah sebuah ritual yang mekanistis, statis, dan hampa. Oleh karena itu, janganlah kaget jika roh penelitian lenyap menjauh dari rumahnya.
Mengapa penelitian hanya sampai di dunia laporan saja? Mengapa laporan penelitian tidak mampu mengantarkan perahu ke pulaunya? Itulah pertanyaan yang jawabannya mampu mengantarkan roh penelitian kembali ke rumahnya. Siapa yang harus menjawab pertanyaan tersebut? Tentu, jawabnya adalah insan yang menghuni dunia akademika ini.
Lihatlah, masyarakat saat ini teramat memerlukan inisiatif yang baru dalam menjalankan kehidupannya. Inisiatif baru itu tentu mengharapkan kedatangan hasil-hasil penelitian. Namun, kedatangan hasil penelitian yang bermanfaat tidak kunjung tiba di tangan masyarakat sesungguhnya. Padahal, di belahan masyarakat penelitian lain, di negara lain, di sudut diskusi yang lain, banyak hasil penelitian dimanfaatkan dengan mudahnya oleh masyarakat. Ujung-ujungnya, masyarakat belahan lain itu berpesta kenikmatan dalam menjalani kehidupan ini.
Projek hanyalah sarana yang menopang keberlangsungan sebuah penelitian. Projek itu bukan tujuan tetapi sarana. Sebuah tatanan harus diciptakan sehingga mampu mengubah budaya projek menjadi budaya tujuan penelitian. Mau tidak mau, sebuah penelitian harus sampai pada penyebarluasan dan pemraktikan secara sederhana, mudah, dan sesuai dengan alam pikir masyarakatnya.
Kelak, jika penelitian sudah menemukan rohnya kembali, segala lini akan berharap ke lembaga yang menangani penelitian itu. Di situlah, harga sebuah lembaga sebagai agen perubahan terbukti meskipun tanpa saksi. Lembaga agen perubahan yang mampu memelihara roh penelitian adalah sebuah hak.
Sebagai agen perubahan, lembaga penelitian harus jumawa. Berpikirnya ibarat matahari yang berani sampai fajar di ujungnya. Sinarnya mampu menelisik ke sela-sela gelap sampai menyinari bumi. Tentunya, matahari itu mempunyai strategi tertata, terpola, dan teruji. Kematangan pengelola teramat penting dalam membangun sistem yang jelas, merata, dan disukai khalayak.
Jika seharusnya dosen itu jawara dalam meneliti, dia juga harus jawara dalam menyebarluaskan hasil ke masyarakat. Itulah sebuah keseimbangan asasi. Berani berbuat, dia haruslah berani bertanggung jawab secara total. Jangan hanya habis manis sepah dibuang. Penelitian selesai, hasilnya hilang ditelan lemari bayang-bayang.

Tidak ada komentar: