Oleh
Suyatno
Sesekali,
cobalah bertanya kepada masyarakat biasa di kampung atau di sebuah desa yang
terjauh, entah mereka petani, buruh pabrik, pedagang, atau tukang cendol,
tentang arti sebuah penelitian. “Apa penelitian menurutmu.” Mereka pasti akan
ramai-ramai menjawab dengan spontan, “Penelitian itu menemukan sesuatu yang
bermanfaat.” Kira-kira, itulah jawaban mereka, tidak lebih dan tidak kurang.
Lalu, cobalah bertanya kepada warga kampus, entah mereka dosen muda, tua,
karyawan, pimpinan, atau mahasiswa tentang pertanyaan yang sama. “Apa
penelitian menurutmu.” Kaum kampus pasti menjawab, “Projek!”
Penelitian
di kampus telah dimaknai secara part prototo (sebagian untuk mewakili
secara keseluruhan) dengan satu kata projek. Padahal, projek merupakan
aspek kecil dari sebuah penelitian. Aspek besarnya adalah temuan yang dapat
bermanfaat bagi pengembangan dan peningkatan kemanusiawian dalam menjalani
hidup di dunia ini. Namun, makna besar sebuah penelitian terkalahkan dengan makna
kecil yang bernama projek.
Tidaklah
heran akal sehat ini. Penelitian hanya sampai di lemari dokumentasi setelah
melewati proses pertanggungjawaban administratif. Ketika tambah tahun, saat waktu
berkelana maju, dokumentatif menjadi sebuah rel yang terpola. Pola itu mudah
dikenali, yakni tawaran, proposal, penelitian, pemantauan, dan laporan.
Pola itu menjadi garis tetap yang harus dijalankan dalam rel tetap pula.
Walhasil, penelitian hanyalah sebuah ritual yang mekanistis, statis, dan hampa.
Oleh karena itu, janganlah kaget jika roh penelitian lenyap menjauh dari
rumahnya.
Mengapa
penelitian hanya sampai di dunia laporan saja? Mengapa laporan penelitian tidak
mampu mengantarkan perahu ke pulaunya? Itulah pertanyaan yang jawabannya mampu
mengantarkan roh penelitian kembali ke rumahnya. Siapa yang harus menjawab
pertanyaan tersebut? Tentu, jawabnya adalah insan yang menghuni dunia akademika
ini.
Lihatlah,
masyarakat saat ini teramat memerlukan inisiatif yang baru dalam menjalankan
kehidupannya. Inisiatif baru itu tentu mengharapkan kedatangan hasil-hasil
penelitian. Namun, kedatangan hasil penelitian yang bermanfaat tidak kunjung
tiba di tangan masyarakat sesungguhnya. Padahal, di belahan masyarakat
penelitian lain, di negara lain, di sudut diskusi yang lain, banyak hasil
penelitian dimanfaatkan dengan mudahnya oleh masyarakat. Ujung-ujungnya,
masyarakat belahan lain itu berpesta kenikmatan dalam menjalani kehidupan ini.
Projek
hanyalah sarana yang menopang keberlangsungan sebuah penelitian. Projek itu
bukan tujuan tetapi sarana. Sebuah tatanan harus diciptakan sehingga mampu
mengubah budaya projek menjadi budaya tujuan penelitian. Mau tidak mau, sebuah
penelitian harus sampai pada penyebarluasan dan pemraktikan secara sederhana,
mudah, dan sesuai dengan alam pikir masyarakatnya.
Kelak,
jika penelitian sudah menemukan rohnya kembali, segala lini akan berharap ke
lembaga yang menangani penelitian itu. Di situlah, harga sebuah lembaga sebagai
agen perubahan terbukti meskipun tanpa saksi. Lembaga agen perubahan yang mampu
memelihara roh penelitian adalah sebuah hak.
Sebagai
agen perubahan, lembaga penelitian harus jumawa. Berpikirnya ibarat matahari
yang berani sampai fajar di ujungnya. Sinarnya mampu menelisik ke sela-sela
gelap sampai menyinari bumi. Tentunya, matahari itu mempunyai strategi tertata,
terpola, dan teruji. Kematangan pengelola teramat penting dalam membangun
sistem yang jelas, merata, dan disukai khalayak.
Jika
seharusnya dosen itu jawara dalam meneliti, dia juga harus jawara dalam
menyebarluaskan hasil ke masyarakat. Itulah sebuah keseimbangan asasi. Berani
berbuat, dia haruslah berani bertanggung jawab secara total. Jangan hanya habis
manis sepah dibuang. Penelitian selesai, hasilnya hilang ditelan lemari
bayang-bayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar