Senin, 20 April 2009

Bermain itu Hak Anak, Mengajar dengan Bermain itu Hak Guru

Oleh Suyatno

Ketika pengasuh blog ini memberikan pelatihan pembelajaran melalui bermain di beberapa tempat, banyak guru kelas atas yang protes tentang bermain cocok untuk segala usia. Menurut para guru itu, pembelajaran dengan bermain hanya cocok dengan kelas rendah seperti TK dan kelas 1, 2, dan 3 SD. Saya, selaku penatar hanya tersenyum ketika menanggapi protes itu sambil mengatakan bahwa semua orang mempunyai inti dasar bermain. Oleh karena itu, permainan sangat cocok digunakan untuk metode belajar kelas apapun. Dengan nada guyon, saya pun mengatakan bahwa manusia lahir pun melalui permainan kedua orang tuanya.

Ketahuilah, bahwa bermain itu adalah hak anak dan hak semua orang. Oleh karena bermain hak anak berarti dalam pembelajaran guru juga harus berhak bermain dengannya. Jika guru dalam mengajar tidak bernuansa permainan sehingga siswa menjadi senang, berarti guru itu melanggar hak asasi anak. Menurut psikolog anak Ratih Andjayani Ibrahim (kompas.com), ada 3 alasan kenapa anak mesti punya kesempatan untuk bermain yang menyenangkan. Pertama, dengan bermain anak akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang utuh, sehat jiwa dan bahagia. Kedua, tanpa unsur bermain yang menyenangkan dan bergerak, anak akan tumbuh menjadi dewasa yang kurang tegas, stres, dan neurotik. Dan yang ketiga, pada level ekstrim, ketegangan dan stres bisa memicu gangguan-gangguan, termasuk gangguan jiwa.

Kebutuhan anak-anak usia 2 - 13 tahun adalah bermain. Wartawan itu kerjanya menulis. Kalau dosen mengajar dan mendidik. Nah, kalau anak-anak ya bermain. Karena itu memang dunianya. Hal tersebut dikatakan dengan tegas oleh Sosiolog Imam Prasodjo dalam diskusi Pentingnya Bermain bagi Anak yang di Jakarta, Kamis (2/4)(kompas.com). "Anak itu ya bermain. Tapi pertanyaannya, bagaimana bermain yang produktif itu?" kata Imam.

Menurut Imam, bermain yang produktif itu mesti mengajari anak tiga hal. Pertama, dengan bermain anak belajar peduli pada diri sendiri. Misalnya bermain make up atau berdandan. Ini bisa mengajari anak merawat dan menghargai dirinya sendiri, kata Imam.Kedua, bermain bisa membuat anak peduli pada orang lain dengan lintas budaya, jarak dan waktu. Salah satu contoh kegagalan masa anak-anak adalah fenomena perusakan warisan budaya berupa bangunan sejarah. Ini karena pada masa anak kurang diajarkan untuk menghargai orang lain, kata dosen tetap FISIP UI ini. Ketiga, dengan bermain anak akan peduli pada lingkungan. Taman bermain seharusnya menjadi wahana untuk mengurangi perilaku buruk, seperti bullying dan vandalisme. Misalnya, pada saat kelulusan anak-anak cenderung corat-coret, tidak hanya baju seragam yang dicoret tapi juga dinding, sesal Imam yang juga ketua Yayasan Nurani Dunia.

Sayang tingkat bermain anak di Indonesia sangat rendah. Padahal bermain memberi manfaat bagi anak. Anak-anak Indonesia ternyata memiliki play quotion (tingkat bermain) paling rendah jika dibandingkan dengan anak-anak dari negara lain seperti Jepang, Thailand, dan Vietnam. Ini sangat memprihatikan generasi penerus bangsa kita. Demikian diungkap Psikolog Klinis dan Perkembangan Ratih Ibrahim dalam diskusi Pentingnya Bermain bagi Anak di Jakarta, Kamis (2/4).

"Anak-anak Jepang mampu menyeimbangkan waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah, bersantai, dan beraktifitas fisik," kata Ratih. Sementara di Indonesia banyak anak menghabiskan waktu untuk belajar atau bersantai tapi kurang aktivitas fisik. Sebuah penelitian menunjukkan, anak-anak Indonesia menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk belajar dan kegiatan non fisik, misalnya menonton TV dan bermain game, kata Ratih. Ciri-ciri anak yang kurang aktivitas fisik antara lain tampak lesu, tidak suka makan, pemurung dan mudah mengantuk. Untuk itu unsur bermain dengan melibatkan kegiatan fisik dan menyenangkan sangat penting, kata Ratih.

Konsep pembelajaran dengan bermain penting bagi anak. Metode Pembelajaran bermain adalah metode untuk merangsang seluruh aspek kecerdasan anak melalui bermain yang terarah dan menciptakan setting pembelajaran yang merangsang anak untuk aktif, kreatif, dan terus berpikir dengan menggali pengalamannya sendiri. Hal itu penting karena di dalam otak terdapat 3 bagian utama yang menentukan perkembangan anak usia dini yaitu: Batang Otak (apabila anak dalam keadaan tertekan, takut, terancam, maka hanya batang otaknya yang bekerja), Limbik, dikenal sebagai pusat emosi dimana semua persepsi (pengalaman sayang, kebaikan hati, rasa kasih, penghargaan, dan rasa peduli) masuk, dan Korteks, merupakan pusat untuk berpikir.

Dalam menggunakan metode bermain, ada 3 jenis bermain yang disarankan untuk diimplementasikan di dalam proses belajar mengajar anak usia dini yaitu Main Sensori Motor (merupakan rangsangan untuk mendukung proses kerja otak dalam mengelola informasi yang didapatkan anak dari lingkungan saat bermain) Main Peran (kegiatan dimana anak melakukan percobaan dengan bahan dan peran). Bermain tidaklah sesederhana dengan membelikan sebanyak mungkin mainan tetapi bermain adalah bermain yang direncanakan, yang didesain dan diarahkan untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangan dan potensi kecerdasan anak, sesuai dengan level anak.

Bermain adalah hak guru untuk mengkreasikan suasana pembelajaran agar lebih mencapai tujuan pembelajaran dengan baik. Dalam belajar, anak tidak akan mendapatkan ilmu apa-apa jika dalam kondisi tertekan, pasif, jenuh, dan sakit. Permainan yang diolah dan diatur oleh guru sesuai dengan tingkatan belajar anak sdikit banyak dapat mengurangi kejenuhan menjadi kegairahan belajar dan kelas akan menjadi dinamis, aktif, bergairah, dan sehat. Cobalah mengajar dengan permainan sebisa guru dalam memainkan. Setelah itu, nikmati cita rasa keberhasilannya.

Tidak ada komentar: