Rabu, 11 Februari 2009
Ponari, Dukun Cilik, Adalah Sosok Guru
Oleh Suyatno
Ponari, Dukun Cilik, dengan tiba-tiba, tanpa disangka, menjadi pusat perhatian ribuan masyarakat dengan menyembuhkan pesakitan hanya dengan sebuah batu coklat sebesar genggaman tangan. Praktik pengobatan Ponari sederhana. Batu yang menjadi ”aji kekuatan” itu cukup dicelupkan ke dalam air dan air itu diminum si pasien atau digosok-gosokan pada bagian tubuh yang terasa sakit. Dari praktik seperti ini, banyak pasien yang mengaku sembuh dari penyakitnya meskipun banyak pula yang mengaku belum sembuh. Itulah sebuah fenomena.
Muhammad Ponari (10) tahun, pelajar SD kelas 3 telah menjadi guru bagi ribuan orang, ribuan latar belakang, dan ribuan profesi. Betapa tidak, bocah yang digendong saat mengobati itu telah memberikan isi buku teks pelajaran kehidupan tentang (1) ternyata, ribuan warga kita mempunyai penyakit yang parah, rumit, dan lama yang selama ini belum dapat disembuhkan munkin karena tiada dana, tiada usaha, atau tiada jalan berobat; (2) pasien berdesak-desakkan telah menjadi guru kita bahwa penguasaan sistem pengaturan massa perlu dipahami dengan rinci dan aplikatif sehingga tidak menjadi desak-desakkan yang liar; (3) desak-desakkan yang berbuah kematian empat orang dan entah berapa yang pingsan memberikan gambaran bahwa kesabaran, toleransi, empati, dan emosi warga kita belum sepenuhnya kuat dan stabil; (4) lambannya antisipasi pihak terkait sampai memunculkan korban memberikan inspirasi kita bahwa pejabat terkait belum mempunyai daya tanggap yang serta merta untuk itu perlu pelatihan dan simulasi cepat tanggap darurat; (5) si kecil Ponari memberikan tengara bahwa anak mempunyai potensi jika disentuh jati dirinya; (6) batu ajaib itu membuktikan bahwa di atas alam kita ada alam lain yang perlu terus dikuak untuk dipelajari; dan (7) ternyata orang dewasa mempunyai jiwa eksploitasi yang rakus terhadap anak-anak akibat kepentingan pribadinya, buktinya, Ponari "dipaksa" untuk mengobati pasien tanpa kenal lelah dan kenal waktu sehingga hak belajar Ponari terbengkalai akibat tidak masuk beberapa hari.
Guru adalah cermin diri yang dapat mengubah dari jelek ke yang baik. Ponari merupakan simbol eksploitasi orang dewasa kepada anak. "Ini terjadi eksploitasi dan perampasan hak anak. Dia sudah melakukan penyembuhan di luar batas kepribadian anak. Ponari melakukan aktivitasnya lebih 3 jam, sekolahnya tertinggal, harus didatangkan guru, dan sebagainya," kata Sekjen Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (10/2/2009). Memang, kata Arist, pengobatan itu tidak dipungut tarif. Akan tetapi, pasien yang "berobat" memberikan sesuatu, utamanya dalam bentuk uang. Dari uang yang terkumpul tersebut, Arist mendengar ada yang akan digunakan untuk membangun jalan di lingkungan Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Megaluh, Jombang. Lebih memperihatinkan lagi, lanjut Arist, Ponari tetap mengobati puluhan ribu pasiennya dalam kondisi sakit pada Senin kemarin. Anak tersebut bukannya disuruh beristirahat, akan tetapi digendong-gendong untuk melayani pasien.
"Kalau itu mukjizat sebenarnya biarlah mengalir, manusia kan juga tidak bisa menolak pemberian Tuhan. Cuma harus disiasati. Misalnya memakai foto. Kan fotonya bisa dilihat. Terus edarkan air di tanki kepada yang antre dan celumpakan batunya. Karena yang berkhasiat kan katanya air, bukan batunya," kata Arist.
Jadi, biarlah Ponari sekolah namun tetap dapat menggunakan "batu ajaib" untuk pengobatan. Kemudian, biarlah Ponari berkembang seperti anak-anak lain, yakni bermain, bersosial, berteman, bermanja ke orang tua, dan mengenali pelajaran.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar