Oleh Suyatno
Chairil Anwar, dalam puisi Diponegoro,
menggunakan pilihan kata pedang di kanan, keris di kiri untuk
menggambarkan kesiapsediaan seseorang dalam menghadapi tantangan dengan senjata
yang lengkap di semua lini. Menurut sastrawan dari Tanah Deli itu, semangat
berjuang yang hebat harus meledak-ledak bagaikan bara menjadi api. Selayaknya,
semangat seseorang dalam menghadapi situasi seberat apapun harus tangguh dengan
jiwa berani. Masyarakat Jawa, jauh sebelum Chairil Anwar di tahun 1945-an, juga
sudah mengenal semangat tinggi dengan pepatah rawe-rawe rantas,
malang-malang putung. Penyanyi dangdut Meggie Z. melantunkan lagu percuma
saja berlayar kalau kau takut gelombang, percuma saja bercinta kalau kau takut
sengsara untuk menggambarkan keharusan seseorang untuk berani menghadapi
tantangan. Orang Surabaya lebih mengenal kalah cacak, menang cacak
untuk menguatkan keberanian dirinya.
Pedang di kanan, keris di kiri terasa layak jika disematkan ke sosok guru
besar saat ini. Sosok yang berada di jabatan tertinggi dari komunitas dosen itu
telah mempunyai senjata lengkap, selengkap kapal dengan lautnya. Senjata
lengkapnya adalah predikat guru yang besar di pundaknya. Berkah pengiringnya
adalah tunjangan yang berlebih daripada tunjangan pengajar mahasiswa di
bawahnya. Situasi untuknya adalah peluang yang besar untuk melakukan penelitian
sebidangnya. Lalu, mitosnya adalah penemu sesuatu yang berguna bagi
masyarakatnya.
Sejarah tentu mewarnai dinamika sang guru
besar. Dari waktu ke waktu, dari segala negara dan bangsa, sosok profesor
diberikan arti yang mengunci predikatnya. Temuan demi temuan banyak yang
berasal dari tangan ketekunannya. Teori demi teori mengalir deras dari sentuhan
pikirannya. Konsep demi konsep terbingkai dari pandangannya. Pembaharuan memang
selayaknya bersumber dari aliran deras gagasannya. Sebut saja, Prof. Charles
Darwin dikenal karena teori evolusi. Prof. Enstein mengibarkan teori
relativitas. Prof. Rene Wellek mengembang dengan teori intrinsik dan ekstrinsik
sastra. Begitu pula, guru besar lainnya memberikan arti dalam dunia kehidupan
akademik dan nonakademik.
Ibarat patah tumbuh hilang berganti, gerbong
guru besar selanjutnya tentulah tidak akan pernah menapikkan arti sesungguhnya
dari mitos yang telah berkembang di masyarakat. Gerbong itu adalah sosok guru
besar baru atau muda yang seharusnya mempunyai rasa rindu dengan warna guru
besar pendahulunya. Tangan akan ditutupkan ke muka jika tidak melakukan
apap-apa padahal guru besar terdahulu memberikan apa-apa. Mereka rindu akan
pertumbuhan kualitas hidup akibat kiprahnya. Mereka akan resah jika tidak
memberikan sebungkus guna di gerbang penampakan orang lain. Lalu, mereka akan dimurkai
oleh mitos sendiri jika tidak memberikan temuan apapun namanya.
Air yang sibuk menandakan tidak dalam. Air
yang tenang memberikan kedalaman. Jika kesibukan rutinitas bertubi-tubi dengan
irama mekanik, tentu, kesibukan itu menandakan permukaan. Badan lelah, pikiran
kusut, tulang nyeri, dan kaki kaku mengental dalam diri yang bertugas mekanikal
yang rutin tanpa berada di kedalaman. Kesibukan lalu menjerat kiprah sang
inovator dan kreator kehidupan. Janganlah sampai, sosok guru besar terlalu
asyik dengan mekanikal yang menutup kelambu kesejatian fungsi dan manfaat
penyandang yang dimilikinya. Ketenangan yang beriringan dengan konsentrasi
keilmuan dalam gagasannya harus dimunculkan dengan kesengajaan agar didapat
kedalaman. Ujung-ujungnya, kedalaman itu akan memberikan jalan bagi sebuah
kapal besar yang akan melintasinya.
Unesa adalah sebuah kapal besar yang
memerlukan penanda-penanda besar pula. Penanda besar itu diharapkan sanggup
menarik kepedulian khalayak untuk memanfaatkan Unesa. Penanda besar itu tentu
akan dapat diberikan oleh orang yang berjiwa besar. Dia mempunyai pemikiran
besar. Tatapan hidupnya untuk sebuah kebesaran lembaga. Dialah sang guru besar.
Setakat ini, keberhasilan besar dari sebuah
kiprah sosok guru besar sangat dinanti-nanti. Karena waktu memang menyatakan
sudah saatnya, momentum kiprah memang juga seharusnya dikibarkan. Karena jalan
sudah diperhalus, sudah saatnya mobil melintas sesuai fungsinya. Karena kolam
sudah dibangunkan, sudah saatnya ikan memberikan gerakan menariknya. Itulah
saat yang tepat untuk memberikan rasa mantap. Memang, guru besar sudah berada
di saatnya memberikan manfaat yang sebenar-benarnya manfaat. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar