Selasa, 27 Oktober 2015

Sang Profesor: Pedang di Kanan, Keris di Kiri



Oleh Suyatno

Chairil Anwar, dalam puisi Diponegoro, menggunakan pilihan kata pedang di kanan, keris di kiri untuk menggambarkan kesiapsediaan seseorang dalam menghadapi tantangan dengan senjata yang lengkap di semua lini. Menurut sastrawan dari Tanah Deli itu, semangat berjuang yang hebat harus meledak-ledak bagaikan bara menjadi api. Selayaknya, semangat seseorang dalam menghadapi situasi seberat apapun harus tangguh dengan jiwa berani. Masyarakat Jawa, jauh sebelum Chairil Anwar di tahun 1945-an, juga sudah mengenal semangat tinggi dengan pepatah rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Penyanyi dangdut Meggie Z. melantunkan lagu percuma saja berlayar kalau kau takut gelombang, percuma saja bercinta kalau kau takut sengsara untuk menggambarkan keharusan seseorang untuk berani menghadapi tantangan. Orang Surabaya lebih mengenal kalah cacak, menang cacak untuk menguatkan keberanian dirinya.

Pedang di kanan, keris di kiri terasa layak jika disematkan ke sosok guru besar saat ini. Sosok yang berada di jabatan tertinggi dari komunitas dosen itu telah mempunyai senjata lengkap, selengkap kapal dengan lautnya. Senjata lengkapnya adalah predikat guru yang besar di pundaknya. Berkah pengiringnya adalah tunjangan yang berlebih daripada tunjangan pengajar mahasiswa di bawahnya. Situasi untuknya adalah peluang yang besar untuk melakukan penelitian sebidangnya. Lalu, mitosnya adalah penemu sesuatu yang berguna bagi masyarakatnya.

Sejarah tentu mewarnai dinamika sang guru besar. Dari waktu ke waktu, dari segala negara dan bangsa, sosok profesor diberikan arti yang mengunci predikatnya. Temuan demi temuan banyak yang berasal dari tangan ketekunannya. Teori demi teori mengalir deras dari sentuhan pikirannya. Konsep demi konsep terbingkai dari pandangannya. Pembaharuan memang selayaknya bersumber dari aliran deras gagasannya. Sebut saja, Prof. Charles Darwin dikenal karena teori evolusi. Prof. Enstein mengibarkan teori relativitas. Prof. Rene Wellek mengembang dengan teori intrinsik dan ekstrinsik sastra. Begitu pula, guru besar lainnya memberikan arti dalam dunia kehidupan akademik dan nonakademik.

Ibarat patah tumbuh hilang berganti, gerbong guru besar selanjutnya tentulah tidak akan pernah menapikkan arti sesungguhnya dari mitos yang telah berkembang di masyarakat. Gerbong itu adalah sosok guru besar baru atau muda yang seharusnya mempunyai rasa rindu dengan warna guru besar pendahulunya. Tangan akan ditutupkan ke muka jika tidak melakukan apap-apa padahal guru besar terdahulu memberikan apa-apa. Mereka rindu akan pertumbuhan kualitas hidup akibat kiprahnya. Mereka akan resah jika tidak memberikan sebungkus guna di gerbang penampakan orang lain. Lalu, mereka akan dimurkai oleh mitos sendiri jika tidak memberikan temuan apapun namanya. 

Air yang sibuk menandakan tidak dalam. Air yang tenang memberikan kedalaman. Jika kesibukan rutinitas bertubi-tubi dengan irama mekanik, tentu, kesibukan itu menandakan permukaan. Badan lelah, pikiran kusut, tulang nyeri, dan kaki kaku mengental dalam diri yang bertugas mekanikal yang rutin tanpa berada di kedalaman. Kesibukan lalu menjerat kiprah sang inovator dan kreator kehidupan. Janganlah sampai, sosok guru besar terlalu asyik dengan mekanikal yang menutup kelambu kesejatian fungsi dan manfaat penyandang yang dimilikinya. Ketenangan yang beriringan dengan konsentrasi keilmuan dalam gagasannya harus dimunculkan dengan kesengajaan agar didapat kedalaman. Ujung-ujungnya, kedalaman itu akan memberikan jalan bagi sebuah kapal besar yang akan melintasinya. 

Unesa adalah sebuah kapal besar yang memerlukan penanda-penanda besar pula. Penanda besar itu diharapkan sanggup menarik kepedulian khalayak untuk memanfaatkan Unesa. Penanda besar itu tentu akan dapat diberikan oleh orang yang berjiwa besar. Dia mempunyai pemikiran besar. Tatapan hidupnya untuk sebuah kebesaran lembaga. Dialah sang guru besar. 

Setakat ini, keberhasilan besar dari sebuah kiprah sosok guru besar sangat dinanti-nanti. Karena waktu memang menyatakan sudah saatnya, momentum kiprah memang juga seharusnya dikibarkan. Karena jalan sudah diperhalus, sudah saatnya mobil melintas sesuai fungsinya. Karena kolam sudah dibangunkan, sudah saatnya ikan memberikan gerakan menariknya. Itulah saat yang tepat untuk memberikan rasa mantap. Memang, guru besar sudah berada di saatnya memberikan manfaat yang sebenar-benarnya manfaat. **


Tidak ada komentar: