Benarkah cita-cita seorang anak murni datang dari seorang anak secara serta merta? Rasanya tidak serta merta tetapi berawal dari informasi keteladanan yang diperolehnya, baik dari mendengarkan, melihat, membaca, maupun berdisikusi dengan orang lain. Untuk itu, semakin anak mendapatkan informasi yang lengkap tentang keberhasilan seseorang dalam hidupnya, semakin anak akan bercita-cita dengan bagusnya. Sebaliknya, semakin anak tidak mendapatkan informasi apa-apa, semakin dia tidak mempunyai cita-cita yang jelas dan bagus.
Ada kisah nyata. Di siang hari, di Konjen RI Los Angeles, Oktober 2015, Kepala Konjen Bapak Umar Hadi menanyai cita-cita pramuka (anak-anak) yang datang ke Konjen itu. Hasilnya tidak ada satu pun yang menjawab tentang cita-cita sebagai diplomat. Bapak Umar Hadi menggeleng-gelengkan kepala sambil berucap, "Mengapa tidak ada yang bercita-cita sebagai diplomat?"
Lalu, Bapak Umar Hadi menjelaskan tugas seorang diplomat dengan menariknya. Setelah menjelaskan tugas seorang diplomat itu, Umar Hadi kembali menanyakan, "Ada nggak yang bercita-cita diplomat?" Langsung ada dua anak yang mengacungkan tangan kalau ia bercita-cita sebagai diplomat. Umar Hadi masih terus bercerita lagi tentang tugas juru damai atau sang diplomat. Kemudian, dia menanya lagi tentang cita-cita anak-anak terkait dengan diplomat. Yang mengangkat tangan lebih banyak lagi.
Nah, terlihat bahwa cita-cita anak-anak bergantung pada informasi yang diperolehnya. Semakin anak banyak menerima informasi tentang dunia pekerjaan ang bagus-bagus tentu semakin anak memunyai pilihan yang menarik. Untuk itu, berilah anak-anak ragam informasi pekerjaan.
Guru di kelas jangan sampai memberikan informasi ketokohan dengan cara terbatas. Berceritalah tentang aneka macam pekerjaan yang menyenangkan. Berilah keunikan yang muncul dari sebuah pekerjaan. Niscaya, pekerjaan anak kelak akan lebih beragam dan inovatif. Buku-buku tentang keteladanan berikan dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar