Perilaku bullying atau suka menindas orang lain, tanpa disadari kerap kali dialami anak-anak atau remaja. Sayangnya, para pelaku bullying
ini acapkali bukanlah anak atau remaja yang biasa dinilai punya
perilaku nakal dalam kesehariannya terutama di rumah. Tak heran jika
banyak orangtua yang kaget karena anak mereka terlibat bullying sementara di rumah mereka menunjukkan perilaku yang baik.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Douglas Gentile dan Brad Bushman dalam Psychology of Popular Media Culture,
disebutkan bahwa anak-anak yang terlihat baik juga memiliki risiko
untuk menjadi seorang pengganggu dan memiliki beberapa perilaku yang
agresif.
Penelitian ini dilakukan dengan memantau perkembangan
dari 430 anak usia 7-11 tahun di kelas 3-5 dari lima sekolah di
Minnesota. Dalam studi ini, anak-anak dan guru disurvei dua kali per
enam bulan. Agresifitas fisik ini diukur dengan laporan perkembangan
diri, laporan teman sebaya, dan juga laporan guru tentang kekerasan yang
dilakukan anak. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan beragam
faktor yang bisa mengubah pribadi anak menjadi negatif .
Dalam laporan diri, anak-anak dinilai melalui tayangan televisi yang mereka sukai, video game, dan film. Penelitian dilakukan dengan seberapa sering mereka menonton dan bermain video game yang berhubungan dengan kekerasan. Mereka berpendapat bahwa televisi dan video game memegang peranan penting bagi anak untuk mem-bully teman-temannya, karena dianggap seperti permainan.
Berdasarkan
penelitian ini, Gentile dan Bushman mengungkapkan, ada enam faktor yang
bisa menyebabkan anak menjadi seorang pengganggu atau melakukan bullying pada temannya. "Ketika semua faktor risiko ini dialami anak, maka risiko agresi dan perilaku bullying
akan tinggi. 1-2 faktor risiko bukan masalah besar bagi anak, namun
tetap butuh bantuan orang tua untuk mengatasinya," ungkap Gentile.
1. Kecenderungan permusuhan
Dalam
hubungan keluarga maupun pertemanan, permusuhan seringkali tak bisa
dihindari. Merasa dimusuhi akan membuat anak merasa dendam dan ingin
membalasnya.
2. Kurang perhatian
Rendahnya
keterlibatan dan perhatian orang tua pada anak juga bisa menyebabkan
anak suka mencari perhatian dan pujian dari orang lain. Salah satunya
pujian pada kekuatan dan popularitas mereka di luar rumah.
3. Gender sebagai laki-laki
Seringkali
orang menilai bahwa menjadi seorang laki-laki harus kuat dan tak kalah
saat berkelahi. Hal ini secara tak langsung menjadi image kuat
yan menempel pada anak laki-laki bahwa mereka harus mendapatkan
pengakuan bahwa mereka lebih kuat dibanding teman laki-laki lainnya.
Akhirnya perilaku ini membuat mereka lebih cenderung agresif secara
fisik.
4. Riwayat korban kekerasan
Biasanya,
anak yang pernah mengalami kekerasan khususnya dari orang tua lebih
cenderung 'balas dendam' pada temannya di luar rumah.
5. Riwayat berkelahi
Kadang
berkelahi untuk membuktikan kekuatan bisa menjadikan seseorang
ketagihan untuk tetap melakukannya. Bisa jadi karena mereka senang
karena memperoleh pujian oleh banyak orang.
6. Ekspos kekerasan dari media
Televisi, video game,
dan film banyak menyuguhkan adegan kekerasan, atau perang. Meski
seharusnya, orang tua melakukan pendampingan saat menonton atau bermain video game untuk
anak di bawah umur, nyatanya banyak yang belum melakukan ini. Ekspos
media terhadap adegan kekerasan ini sering menginspirasi anak untuk
mencobanya dalam dunia nyata. "Sebaiknya dampingi dan beri pengertian
pada anak saat menonton film beradegan kekerasan atau bermain video game perkelahian.
Karena pengaruh media inilah yang 80 persen bisa membuat perilaku anak
menjadi negatif dan terinspirasi untuk melakukannya," sarannya. (sumber: KOmpas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar