Jumat, 07 November 2008

Masih Perlukah Guru Killer?

Oleh Esti Nugraheni
Guru SMPN 39 Surabaya

Indonesia sudah selangkah demi selangkah berupaya mengentaskan keterpurukan pendidikan. Upaya itu ditandai dengan perbaikan kurikulum yang sudah mengalami perubahan sebanyak empat kali sejak tahun 1975. Selain itu upaya pemerintah yang lain yaitu mengentas pendidikan guru dengan cara mewajibkan pendidikan penyetaraan S1 bagi guru SD, SMP, maupun SMA, bahkan memberi peluang bagi guru yang ingin melanjutkan pendidikan S2. Belum lagi kegiatan-kegiatan penataran yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru.
Upaya pemerintah Indonesia untuk mengentas pendidikan ini mendapat banyak sambutan dari masyarakat, namun tidak kalah banyak juga yang menyambutnya dengan dingin dan apatis. Masyarakat yang menyambut dengan antusias dan gembira adalah masyarakat yang menginginkan perubahan menuju kepada perbaikan. Mereka bersikap demikian karena mereka melihat laju pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun tidak ada perkembangan baik dalam proses pembelajaran maupun hasil outputnya. Sedangkan masyarakat yang menyambut dengan dingin dan apatis adalah masyarakat yang melihat bahwa upaya tersebut hanyalah sia-sia bahkan merepotkan, dalam arti merepotkan guru untuk selalu belajar dan merepotkan guru untuk menyesuaikan metode pembelajaran dengan kurikulum yang diberlakukan.
Dalam masa sekarang ini, kebutuhan anak didik untuk lebih mendapatkan "kebebasan" dalam belajar hendaknya guru menyambutnya dengan antusias karena anak didik berhak mendapatkan itu.
Mengapa demikian? Setiap peserta didik adalah unik. Peserta didik mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu proses penyeragaman dan penyamarataan akan membunuh keunikan tersebut. Keunikan harus diberi tempat dan dicarikan peluang agar dapat lebih berkembang. Anak didik bukanlah objek pendidikan, sehingga guru seyogyanya memusatkan belajar pada siswa, artinya dalam pembelajaran, segalanya berpusat dari siswa mulai penentuan pokok bahasan yang akan dipelajari sampai kepada kegiatan pembelajaran. Guru tinggal memotivasi dan memediatori siswa dalam pembelajaran.
Memang, kegiatan pembelajaran yang demikian itu sangatlah sulit untuk dilaksanakan apalagi budaya kolonialisme sudah berurat berakar di Indonesia termasuk dalam lingkup pendidikan. Ditambah lagi dengan pemikiran guru yang seperti ini: "Ah, selamaini saya mengajar dengan cara lama ya baik-baik saja, tidak ada masalah". Ada pula guru yang bangga dijuluki guru killer karena kegalakannya. Guru tersebut menggunakan sistem seperti itu karena mungkin guru tidak ingin direpotkan dengan siswa yang ramai, yang malas, atau yang kurang pandai. Guru tersebut merasa nyaman mengajar dengan siswa yang duduk rapi dalam keadaan sunyi sepi dan dalam suasana tegang karena takut. Guru yang demikian itu melihat pembelajaran berfokus pada guru(pribadi) tetapi tidak melihat dari sisi siswa (peserta didik). Hal yang demikian hendaklah dipikirkan kembali.
Menurut Freire, pendidikan dengan paradigma kritis menempatkan peserta didik sebagai subjek. Bagi Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subjek bukan penderita atau objek. Menurut Freire pula, jika seseorang pasrah, tetap pada sistem dan struktur yang sebenarnya usang dan menyerah pada sistem tersebut sesungguhnya ia sedang tidak manusiawi. Lalu bagaimanakah sikap guru menghadapi tantangan ini?
Guru adalah sosok yang dibutuhkan dalam pembelajaran, khususnya di kelas. Seperti yang sudah ditulis di atas, guru adalah sebagai mediator dan memfasilitasi peserta didik untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya meskipun masih dalam koridor kurikulum yang diberlakukan. Guru harus termasuk golongan yang menyikapi perubahan paradigma pembelajaran dengan antusias dan gembira. Karena diharapkan guru dapat mencetak peserta didik yang kreatif dan inovatif, sehingga dapat dipastikan Indonesia nantinya tidak akan kekurangan SDM berkualitas.
Guru harus senang menerima pengetahuan-pengetahuan baru tentang pendidikan dan berupaya untuk mengaplikasikannya di kelas. Bukankah anak didik adalah tanggungjawab guru? Baik tidaknya hasil yang diperoleh anak didik juga tergantung seberapa besar upaya guru dan kemampuan guru untuk memotifasi, memfasilitasi, dan menjembatani antara anak didik dengan pengetahuan yang sedang dipelajari. Maka membuka lebar-lebar hati untuk menerima perubahan dan mau mengubah cara pembelajaran yang selama ini bersifat konservatif bukanlah hal yang tabu.
Sebagai orang yang menangani pendidikan, guru harus berani dan mempunyai komitmen untuk mengubah paradigma yang dipegang selama ini ke paradigma baru yang justru dibutuhkan oleh masyarakat. Freire membagi kesadaran manusia dalam belajar ke dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah kesadaran magis, yaitu kesadaran yang tidak mampu mengetahui antara faktor satu dengan faktor lainnya. Proses pendidikan metode tersebut tidak memberikan kemampuan analisis tentang kaitan antara sistem yang diciptakan dalam proses pelatihan dalam pendidikan dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Peserta didik secara dogmatis menerima kebenaran dari pendidik tanpa ada mekanisme pemahaman makna setiap konsepsi kehidupan masyarakat.
Kelompok kedua adalah kesadaran naïf, yakni melihat aspek manusia menjadi penyebab masalah yang berkembang di masyarakat. Pendidikan dalam konteks naïf tersebut tidak mempertanyakan sistem dan struktur pelatihan. Bahkan, sistem dan stuktur yang ada dianggap sudah baik dan benar. Sistem tersebut dianggap given oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pelatihan atau proses pendidikan adalah mengarahkan agar peserta didik dapat masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
Kelompok ketiga disebut dengan kesadaran kritis. Kesadaran tersebut lebih melihat sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Paradigma kritis dalam pendidikan melatih peserta didik mampu mengidentifikasikan ketimpangan struktur dan sistem yang ada kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem bekerja serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidik dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta didik terlibat suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan sesuai dengan diri peserta didik.
Dari kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan maka apabila guru mengajar dengan melihat dari sisi anak didik maka tentunya guru tersebut termasuk orang yang mendukung kelompok ketiga. Alangkah bahagianya bila semua guru bersatu padu meneriakkan "Selamat datang pendidikan kritis, Selamat datang KBK!" maka pendidikan Indonesia akan mampu menyamai pendidikan modern di negara-negara lain. Pendidikan di Indonesia akan mengantarkan bangsa Indonesia siap menerima era globalisasi tanpa ragu. Dalam kualitas pendidikan, bangsa Indonesia tidak akan berada di peringkat 109 dari seluruh jumlah negara-negara di dunia. Bangsa Indonesia tidak akan lagi menjadi bangsa konsumen tetapi akan siap menjadi bangsa produsen. Itulah setidaknya yang harus dicita-citakan guru. Betapa mulianya. Tidak salah bila selama ini bangsa kita menyebut guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Nah, kalau sudah demikian apakah guru akan tetap bangga dengan predikat guru killer?


Daftar Pustaka

Fakih, Mansour dkk. 2001. Pendidikan Populer Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Suyatno, 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa Dan Sastra. Surabaya. SIC.

Tidak ada komentar: