Jumat, 09 Mei 2014

Budaya Baca, Harus Dari Mana Memulainya?

Siang, pukul 10.00, ruang rapat, di lantai 2 gedung BPPAUDNI II Jawa Timur dan NTT di jalan Menur Surabaya dipenuhi suara adu gagasan dalam bingkai FGD (Fokus Grup Diskusi) untuk memformulasikan budaya baca masyarakat. Hadir utusan Perpustakaan Daerah Jawa Timur, TBM Jombang, Prof. Dr. Sarmini (Unesa), Dr. Suyatno (Unesa), dan tuan rumah. Mereka sangat asyik bersumbang saran untuk formulasi penerapan budaya baca bagi masyarakat.

Saya sangat antusias dalam FGD itu. Dalam diskusi itu, saya mengusulkan prinsip penerapan budaya baca, yakni prinsip kualitas, kuantitas, relevansi, dan cara. Prinsip kualitas, menu baca harus memenuhi keinginan dan selera pembaca; Prinsip kuantitas jumlah buku yang dibaca segaris dengan jumlah pengalaman atau informasi yang akan diperoleh pembaca; Prinsip relevansi, buku yang diberikan harus relevan dengan konteks pembaca; dan prinsip cara, budaya baca harus masuk ke cara yang praktis, sederhana, dan memenuhi selera masyarakat.

Telah banyak budaya-budaya sejenis, seperti budaya aman, budaya tulis, budaya bertani, dan seterusnya yang terputus di tengah jalan. Isi budaya sangat tersistem, terpola, dan bagus namun budaya pesanan itu hancur di tengah jalan akibat waktu dan keterputusan program. Akankah budaya baca yang akan dikembangkan itu juga terputus di tengah jalan? Tentunya, semua berharap budaya baca akan menjadi tradisi yang menguat bagi masyarakat.

Kita semua harus sadar bahwa warna masyarakat di Indonesia bersumber dari budaya tutur. Informasi yang diterima bersumber dari tuturan orang lain. Telinga menjadi alat yang kuat dalam masyarakat. Budaya tutur itu masih mengental di tubuh masyarakat. Cara menggesernya tentu memerlukan upaya yang optimal. Apalagi, budaya tutur yang ada dikawini oleh budaya lihat dan dengar, yakni melihat televisi dengan beragam warna acara.

Saya sangat optimis budaya baca dapat berkembang pesat karena pertama, para orang tua mempunyai kemampuan membaca karena rata-rata lulus SMA. Kodisi itu berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu, para orang tua banyak yang hanya lulus SD. Dengan demikian, orang tua mempunyai keinginan agar anak-anaknya membaca. Kedua, saat ini banyak terbit buku dengan aneka topik yang mampu menjadi pilihan baca masyarakat akibat munculnya percetakan dan penerbit baru. Ketiga, perpustakaan semakin banyak dan terjangkau di kabupaten, kecamatan, kelurahan, dan sekolah-sekolah. Keempat, kesadaran akan buku semakin menguat di tengah masyarakat.

Kondisi tersebut, tentu menguatkan gagasan menggelontorkan budaya baca di masyarakat. Nah, sekarang tinggal pihak terkait merumuskan menu pembiasaan yang mampu bertahan lama. Pembiasaan lebih berat dibandingkan memberikan buku baru bagi mereka. Itulah tantangannya. (suyatno).

Tidak ada komentar: