Dari pertemuan sore beberapa alumni muda yang hanya bermodal secangkir kopi dan jajanan, lahirlah majalah kebudayaan Kalimas dengan versi baru. Saya katakan versi baru, karena majalah Kalimas pernah terbit di tahun 90-an lalu mati karena kehilangan amunisi. Sekarang, kalimas tampil dengan seri kebudayaan yang memunculkan banyak gagasan budaya, sastra, dan seni. Majalah kebudayaan itu lahir dari kantin Unesa.
Bahkan, para punggawa tidak puas dengan majalah Kalimas saja. Mereka akan menerbitkan karya pribadi dalam bentuk buku. Pada saatnya nanti, kata mereka, buku-buku itu akan dipamerkan dan ditunjukkan pada dunia agar mereka tahu bahwa Ketintang, lewat sebuah kantin Unesa, mampu memberikan sumbangan literasi. Betapa angan-angan itu membaik dan bertumbuh menjadi keniscayaan.
Saat ini, mereka sudah membuktikan akan penerbitan itu di samping menggarap edisi kedua majalah Kalimas. Atas dasar itu, saya juga merasa terpanggang untuk berkreasi. Ada satu judul kumpulan puisi yang saya siapkan untuk mendukung komunitas kantin Unesa itu. Judul yang mereka sarankan adalah bersuku kata sembilan. Saya bertanya, "Mengapa?". "Itu Hoki, Pak," jawab salah satu peserta pesta kopi sore hari di kantin. Saya menyengir dan menyetujui judul itu. Buku saya sedang digarap desainnya oleh mereka. Ada 52 judul puisi yang saya berikan.
Sore hari, selepas bekerja, mereka berada di kantin Unesa. Ada kopi dan air mineral menemaninya. Saya sesekali ikut nimbrung dengan gaya anak muda juga. Betapa dunia menjadi seimbang jika pekerjaaan yang padat diimbangi dengan duduk santai mengurai gagasan baru. Kantin Unesa adalah sebuah inspirasi bagi kaum muda tersebut.
Sebelumnya, saya tidak pernah terpikirkan untuk menerbitkan kumpulan puisi. Puisi, bagi saya, hanya sebuah tempat menagngkangi gagasan. Namun, berkat dorongan anak muda di kantin Unesa itu, puisi saya menjadi luluh untuk disebarluaskan ke publik. Saya tidak dapat menolak dengan permintaan itu. Puisi pilihan saya berikan ke mereka, yakni 52 judul dengan segala bentuknya.
Berikut ini salah satu puisi saya yang turut diterbitkan dalam kumpulan puisi itu.
KUBANGUNKAN BUKIT MATAHARI
kubangunkan bukit matahari
ketika ringkih kuda menuangkan gelas
kopinya
panas yang setengah cukup menularkan
kehangatan
di pucuk bukit bertuah sinar palinggi
yang ada
ombak datang menjemput cahayamu
dari kejauhan merangkak cepat di garis
pantai
Pinupahar mengikat kerinduan bukit dan
langit
disaksikan air laut melatari pandangan
yang jauh
kuda beranak-pinak menyedoti sinar
mentari
yang lahir dari bukit nenek-moyang
sapi bertukar pandang menggamit cahaya
hari
yang lahir dari ceruk lembah yang setia
babi, kambing, dan anjing bertahan nasib
yang lahir dari dongeng malam para ompu
kubangunkan bukit matahari
karena utangku pada Sumba Timur yang
selatan
melahirkan anak-anak harapan
Pinupahar, Sumba
Timur, 11 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar