Rabu, 03 Juni 2009

Wajah Buruk Ujian Nasional

Niat awalnya untuk mengukur kompetensi siswa di tingkat nasional agar diketahui perkembangan dan kemajuan pendidikan di INdonesia, hasilnya adalah pembentukan jiwa curang di semua kalangan pendidikan yang berurusan dengan sekolah. Jiwa curang saat ini mulai terbentuk menjadi salah satu aset bangsa setelah dipupuk dalam proses yang bernama ujian nasional. Betapa tidak! Semua kepala dinas atau kepala daerah tentu tidak ingin daerahnya lebih rendah kualitas pendidikannya dibandingkan dengan daerah lain. Itu demi gengsi kepemimpinan. Jalan pintas pun dijalani. Hasilnya upaya manipulasi tingkat tinggi atas nama baju kecurangan.

Jawa POs (Selasa, 2 Juni 2009), harian nasional yang terbit dari Surabaya, melaporkan bahwa dunia pendidikan Indonesia benar-benar ternoda. Kasus kecurangan pelaksanaan ujian nasional (unas) tahun ajaran 2008/2009 tidak hanya dilakukan 19 SMA, melainkan 33 SMA. Selain itu, kecurangan tersebut terjadi di level pendidikan menengah tingkat pertama (SMP). Itulah fakta terakhir yang dibeberkan Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) kemarin.

Ketua BSNP Prof Eddy Mungin Wibowo mengungkapkan, kecurangan itu mayoritas terjadi di daerah. ''Total ada 33 SMA. Kami sudah mendatanya dan menyiapkan ujian ulang untuk seluruh SMA itu,'' terangnya kemarin. Kasus pelanggaran berat tak hanya terjadi di SMAN 2 Ngawi, tapi juga terjadi di Sungai Liat, Bangka Belitung.

Kasusnya adalah joki oleh guru dengan menyebarkan kunci jawaban unas melalui pesan SMS. Pesan itu kemudian disebar di SMA Bakti dan SMA Setia Budi. Menurut Mungin, kasusnya saat ini ditangani pihak kepolisian. Dua sekolah itu juga harus mengulang ujian.

Siswa SMA Bakti jurusan IPA harus mengulang mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan kimia. Sedangkan siswa jurusan IPS harus mengulang semua mata pelajaran yang diujikan dalam unas. Yaitu, matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, ekonomi, geografi, dan sosiologi. Sementara siswa SMA Setia Budi harus mengulang semua mata pelajaran, baik untuk jurusan IPA maupun IPS.

Yang memprihatinkan lagi adalah bentuk kecurangan di Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. Seluruh SMP dan MTs di kabupaten itu harus mengulang ujian lantaran mendapat kunci jawaban unas. (Selengkapnya lihat grafis). Kronologinya, sehari sebelum pelaksanaan unas atau pada (27/6) lalu, salah seorang guru SMP di kabupaten itu mencuri soft copy soal unas di percetakan. Dari soal itu dibuat kunci jawaban. Lantas, kunci jawaban itu disebarkan ke seluruh sekolah di Kendari. Namun, pihak kepolisian setempat telah berhasil menangkap guru tersebut.

Kemudian, pengawas, Irjen, dan BSNP turun ke lapangan untuk membuktikan apakah kunci jawaban itu sesuai dengan kunci jawaban asli. Hasilnya, pola jawaban semua siswa sama, tapi tidak sesuai dengan kunci jawaban asli. ''Artinya, jawaban siswa salah semua. Karena ini bentuk kecurangan dan melanggar POS (prosedur operasional standar, Red), akhirnya kami putuskan mengulang ujian itu,'' terangnya. Seluruh siswa SMP dan MTs Kabupaten Kendari harus mengulang semua mata pelajaran. Pelanggaran lain terjadi di SMPN 1 Lebong Bengkulu, MTs Kabupaten Kolaka, dan SMPN 4 Sampara, Kabupaten Konawa (Sulawesi Tenggara).

Mungin menjelaskan, sejatinya keputusan menggelar ujian ulang tidak diambil begitu saja. BSNP beberapa kali mengundang para kepala dinas kota/kabupaten setempat untuk membahas kasus tersebut. Peristiwa memalukan itu dibahas kali pertama pada 15 Mei lalu. Akhirnya keputusan final mengulang ujian diambil pada Sabtu (30/5) lalu. ''Pertimbangan kami menyangkut sekian banyak siswa. Kalau ujian ulang tidak dilakukan, ini sangat merugikan mereka,'' tutur pejabat asli Semarang itu.

Mungin mengatakan, bobot soal ujian ulang akan disusun setara unas yang berlangsung pada April lalu. Dengan demikian, kata Mungin, diharapkan kualitas unas ulangan tidak diragukan. Saat ini pihaknya telah menyiapkan ujian ulang itu. ''Kami berharap kecurangan tidak terjadi lagi,'' ucapnya.

Sementara itu, Direktur Centre for the Betterment of Education (CBE) Satria Dharma mengatakan, peristiwa itu sebagai tragedi dunia pendidikan. ''Jika siswa lebih memercayai kunci jawaban palsu yang beredar, artinya tidak ada kepercayaan terhadap proses pembelajaran yang berlangsung selama tiga tahun. Ini bencana bagi dunia pendidikan,'' ungkapnya.

Satria menilai, yang paling bertanggung jawab terhadap kasus itu adalah para kepala daerah, kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah. ''Karena itu, kasus ini harus diusut tuntas hingga ke pengadilan,'' jelas alumnus Unesa itu.

Karena merupakan sebuah kecurangan, menurut Satria, tidak seharusnya BSNP menggelar ujian ulang. ''Dalam persoalan ini, BSNP tidak boleh mengambil kebijakan mengulang unas. Itu kesalahan siswa sendiri yang lebih memercayai kunci jawaban palsu daripada apa yang telah mereka peroleh dari sekolah selama ini,'' tegasnya.

Kasus itu langsung ditanggapi Komisi X DPR RI. Kemarin komisi yang mengatur masalah pendidikan, seni, dan budaya itu mengadakan rapat intern tertutup. Wakil Ketua Komisi X Heri Akhmadi mengatakan, rapat tersebut menghasilkan beberapa keputusan. Yakni, membentuk panitia kerja (panja) untuk mengevaluasi menyeluruh unas.

Bahkan, malam ini (2/6) sekitar pukul 19.00 komisi akan memanggil Mendiknas Bambang Sudibyo dalam rapat kerja. ''Mendiknas harus menyikapi ini dengan sungguh-sungguh. Harus ada evaluasi total dan menyeluruh untuk unas,'' tegas anggota dewan dari dapil VII itu.

Heri mengatakan, komisi menyatakan sangat prihatin atas terjadinya kasus tersebut. Dia menengarai, kasus itu melibatkan orang dalam. ''Mereka (Depdiknas daerah, Red) bilang kalau itu terjadi karena siswa mendapat bocoran. Jelas tidak mungkin. Siswa tidak akan percaya kalau itu tidak dari orang dalam dan orang yang mereka percaya,'' katanya.

Karena itu, Komisi X mendesak Mendiknas segera mengungkapkan masalah yang terjadi di SMA-SMA tersebut dan menindak semua pihak yang terlibat. ''Kalau ada indikasi unsur pidana, kasus ini harus dilaporkan ke polisi,'' katanya.

Heri sendiri sempat melakukan sidak di sejumlah sekolah di daerah pemilihannya. Dari penelusuran itu, dia menilai modus kecurangan dilakukan dengan sangat sistematis dan melibatkan jaringan orang dalam. Mulai guru hingga panita ujian dari dinas pendidikan setempat. Caranya, salah seorang guru atau panitia yang ikut mendistribusi naskah soal mengambil salah satu soal. Dia lantas membuat kunci jawabannya.

''Nah, setelah itu baru disebarkan ke siswa. Penyebarannya bisa dengan cara SMS antarsiswa atau kertas-kertas dari guru yang mengawasi,'' katanya. Modus lain, kata Heri, bisa saja terjadi. Namun, untuk melakukan penelusuran yang detail, dia berharap upaya investigasi dari pihak kepolisian.

Kunci jawaban itu, kata Heri, barangkali benar. Namun, karena beberapa sekolah memiliki jenis soal berbeda, kunci jawaban itu tak cocok saat digunakan di SMA yang semua siswanya tak lulus itu. ''Bisa jadi di sekolah lain malah sukses dan semuanya lulus,'' katanya.

Heri yakin modus tersebut sudah lumrah digunakan sekolah-sekolah. Itu pula yang menjadi rahasia kelulusan mereka selama ini. ''Nah, kebetulan mereka yang gagal lulus itu sedang apes. Akhirnya jadi ketahuan. Coba kalau mereka lulus semua, pasti cara-cara tidak jujur itu tidak pernah ketahuan,'' kata anggota FPDIP itu.

Komisi X, kata Heri, juga menolak keputusan Depdiknas menurunkan Inspektorat Jenderal (Itjen) untuk menginvestigasi kasus tersebut. Sebab, Itjen tak pernah benar-benar menyelesaikan persoalan. Dari beberapa kasus pendidikan yang terjadi, Itjen malah memperkeruh suasana. ''Lihat saja kasus Sumatera dulu. Guru-guru diduga mendiktekan jawaban kepada siswa. Masak Itjen malah menyalahkan mereka yang melaporkan kejadian itu,'' katanya.

Komisi juga menolak kebijakan BSNP melakukan ujian ulang. Hal itu dinilai tidak adil bagi siswa lain yang dinyatakan tidak lulus. ''Bahkan, meski dianggap korban oknum guru pun, mereka tetap tak bisa melakukan ujian ulang. Para siswa kan ikut aktif melakukan kecurangan itu. Jangan sampai karena jumlah siswa yang tak lulus mencapai ribuan, kita jadi melanggar peraturan. Ujian ulang tak pernah ada dalam aturan,'' tegasnya.

Skandal itu juga menyeret Depdiknas ke sejumlah kasus lain yang selama ini tak banyak dibicarakan. Pembentukan panja unas juga untuk mengevaluasi semua program Depdiknas yang bermasalah.

Kasus itu adalah program jaringan pendidikan nasional (jardiknas), data dan statistik pendidikan, dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). ''Program jardiknas bahkan tidak jelas. Anggarannya besar, tapi tidak ada hasilnya. Malah data dan statistik pendidikan tidak jelas juntrungnya,'' tegas Heri.

Tidak ada komentar: