Rabu, 03 Mei 2017

Cerpen: Dikejar dan Digoda Debar Jantung



Dikejar dan Digoda Debar Jantung
Oleh Suyatno

            Mencari rute baru yang menantang dan memberikan kesan bagi para penegak gampang-gampang susah. Jika rute itu jalan setapak yang terang benderang, tentu penegak akan dengan cepat melahap dan tiada dinikmati perjalanannya karena tanpa rasa. Padahal, rasa merupakan pemantik kekuatan selera jiwa. Jika rute itu baru dan belum ada seorang pun yang lewat tentu juga akan merepotkan pencari rute meskipun akan memberikan pengalaman baru bagi penegak yang akan lewat. Memang, alam terbuka bersifat netral. Alam terbuka menyediakan segudang sumber belajar dan bergantung manusia untuk memilih sumber belajar itu untuk tujuan yang diharapkan. Nah, dari dua pendapat itu, kami memilih rute baru. Ya, rute baru.
Kami putuskan pengembaraan akan sangat menarik jika dilakukan di hutan lindung karena mempunyai aneka jenis tanaman dan hewan jika dibandingkan hutan jati di sisi barat bumi perkemahan. Waktu itu, aku ditugasi bersama empat teman lainnya untuk memimpin pengembaraan penegak dengan menginap semalam di perjalanan. Kegiatan pengembaraan itu merupakan salah satu mata kegiatan dalam Perkemahan Peran Saka Jawa Timur 1990 yang diikuti perwakilan anggota saka di Bumi Perkemahan Bajul Mati, Banyuwangi. Ada 4.000 peserta yang dibagi-bagi ke dalam cluster yang waktu pelaksanaannya paralel dengan kegiatan lainnya.
Bumi Perkemahan Bajul Mati terletak di perbatasan Banyuwangi dengan Situbondo, 500 meter dari jalan raya Surabaya--Denpasar. Hutan jati melindungi lokasi. Sungai Bajul Mati melintasi dengan air yang malu-malu. Lokasi perkemahan bukan areal yang sudah jadi karena kami menempatinya berdasarkan luas lahan rata, teduh, dan dekat sungai. MCK dibangun alakadarnya. Lokasi dipetakan sekenanya. Pokoknya nyaman saja serinai wajah peserta. Seberang jalan, sisi timur terdapat hamparan Taman Nasional yang dirawat oleh negara.
Hutan lindung Baluran merupakan Taman Nasional yang unik di dunia karena mempunyai garis hijau dengan tanaman berdaun lebar yang seharusnya tidak tumbuh di kawasan Baluran yang kering dan tandus. Garis hijau itu selebar 400 meter memanjang dari bukit sampai pantai dengan burung beraneka jenis, seperti merak, jalak, elang, dan yang lainnya. Ada dua savana kering yang mengapit garis hijau itu. Di savana kanan dan kiri terdapat hewan banteng, babi, rusa, dan ayam hutan. Jika kita masuk ke hutan lindung itu, tentu petugas akan mencegat sambil menanyai tujuannya. Lalu, petugas dengan seragam hijau mentah itu memberikan sederet larangan dan keharusan. Jika kita memasuki hutan lindung itu, rasa takjub dengan cepat merasuki pikiran.
Berdasarkan hasil analisis tim pengembaraan, survei dilakukan siang hari dengan ancang-ancang jarak berjalan 3 km sampai ke pos pantai. Perbekalan disiapkan. Alat pencatat diutamakan. Jas hujan ponco dan matras tidur dibawa serta untuk sarana berbivak. Perjalanan dimulai.
“Permisi, Pak. Kami akan melewati semak dan jalan baru yang belum pernah dilewati karena peserta yang akan pengembaraan adalah usia remaja yang pilihan dari kwarcab se-Jatim,” kata Triadmidi salah satu anggota tim yang mendahului ucapanku.
“Boleh, Mas. Asalkan tidak merusak ya,” jawab petugas.
“Siap Pak!”
Aku segera mengeluarkan peta situasi. Petugas mencermati peta situasi itu. Jari ini menunjukkan perkiraan arah yang akan ditempuh sampai ke pos pantai. Petugas hanya tersenyum. Kami juga tersenyum.
Aku bertugas memainkan peta situasi. Triadmidi membuat peta pita. Budi dan Ekorejo membuka jalan dengan parang seperti Pahlawan Pattimura. Lalu, Purbo memasang tanda jejak dari tali plastik berwarna kuning yang diikatkan dengan simpul hidup agar mudah diambil lagi. Perjalanan dimulai.
Savana pertama mudah sekali dilalui karena hanya pohon jati dan rumput sepinggang. Untuk memberikan keasyikan perjalanan, kami memilih parit kecil untuk pintasan. Terlihat di kiri kanan, rusa menyampaikan salam dengan cara menegakkan kepala sambil berhenti merumput. Sesekali, Ekorejo iseng dengan menyambit rusa dengan batu kecil. Rusa berlari. Kami terus jalan. Sudah beberapa lagu didengungkan dengan suara rusak dan kacau seperti lalu lintas di Jakarta.
Tiba-tiba, kami terkejut melihat hutan di depan mata berwarna hijau, daun lebar, aneka pohon dataran rendah, dan burung-burung memainkan sayap sambil menyenggol dedaunan. Ada pohon rumbia, yang biasa dibuat untuk atap rumah orang Melayu zaman dahulu. Pohon rumbia biasanya tumbuh di tepi sungai dekat muara. Ada pohon talas besar. Pohon lainnya memberikan perpaduan warna hijau menyegarkan. Tanah basah. Sepatu memberikan rasa sejuk di kulit kaki. Udara segar.
“Inilah yang dinamakan sabuk hijau Baluran,” kataku menggurui.
“Sip. Kita santai dulu sambil minum dan memperbaiki peta pita yang bergaris sekenanya,” kata  Triadmidi. Kami pun tak kuasa membantahnya. Duduk di tepi garis hijau dengan santai.
Tanggung jawab mengingatkan kami untukberkelana lagi menyusuri hutan demi perjalanan peserta besok. Tali sudah terpasang berjajar dan meliuk-liuk sesekali hilang dari pandangan ketika kita melihat ke belakang. Sesekali Purbo memanjat pohon untuk memasang tali jejak.
Garis hijau dengan sungai gemericik terlewati. Kami seakan memasuki gerbang neraka lagi. Kering, berbatu, dan pohon jati menyapa kembali. Kami berjalan terus sambil memata-matai sungai kecil untuk pintasan agar perjalanan tidak menjenuhkan.
Ketika Budi membabat semak belukar, dengan kilatnya menyembul babi. Budi kaget. Kami pun kaget. Kami lari melebihi pelari nasional. Semakin kami lari, semakin babi memburu pelarian. Segerombolan babi itu mengejar dengan kencangnya rombongan kami. Ekorejo terjatuh namun dengan cepat bangun dan berlari. Kami terus berlari sekilatnya untuk tidak terkejar babi-babi itu. Anehnya, semakin kami lari kencang semakin babi itu tampak berlari cepat. Hutan yang diam tiba-tiba riuh dengan suara ketakutan kami.
Kami belok ke kiri lalu terperosok di sungai kecil tak berair. Rupanya, babi tidak melihat kami terperosok. Babi terus berlari dan pada akhirnya berhenti dengan sendirinya. Kami terdiam sambil melototi babi-babi itu. Namun, nafas terus saja membunyikan klaksonnya seakan kami berlomba paduan suara.
“Babi kurang ajar!” teriak Triadmidi sambil menggelontorkan nafas yang tersendat-sendat seperti mobil mogok.
“Enaknya disate saja babi itu” kata Budi sambil mengacungkan parang seperti pemberani saja padahal arahnya ke awan.
“Huss. Tidak boleh ngomong begitu. Itu babi hutan yang sengaja dipelihara di taman ini. Apalagi, babi biasanya membawa daya magis tersendiri. Siapa yang mengancamnya, dia akan menemui kesialan,” kataku.
“Ngawur ah. Jangan ngomong begitu, ah,” sahut Budi ketakutan. Teman lainnya memasang mata untuk memastikan babi hutan sudah menjauh.
“Bagaimana ini? Rute tetap lewat sini ya?” kata Triadmidi sambil memasang meja dada lagi.
Aku jawab, “Iya, kita tetap menjadikan tempat ini sebagai pintasan. Andai ada babi, itu malah bagus bagi pengalaman peserta. Kakn, tidak ada sejarahnya orang dimakan babi. Yang ada babi dimakan orang,” jawabku.
“Haram, ah,” sahut Ekorejo. Kami pun tertawa semua. Perjalanan melaju dengan semestinya.
Keringat menghujani seluruh kulit. Nafas sudah kehabisan stoknya. Kaki susah diajak kompromi. Namun, pos pantai sudah mengibarkan bendera penerima tamu. Kami langsung berlari sekenanya menuju pos seperti di peta situasi. Perkiraan perjalanan tiada yang meleset. Tiga jam waktu tempuh terpenuhi.
Dengan seketika, tas rangsel kami jatuhkan begitu saja ketika berada di halaman gubug  pos pantai dekat Pantai Bama. Tanpa dikomando, kami merebahkan badan seperti durian jatuh. Entah beralaskan apa saja, kami tak peduli. Minum terasa pelit. Udara terasa gelap. Tertidurlah kami secara serentak seperti tentara baris. Aku bangun seketika setelah teman berteriak, “Rangsel kita hilang!”
“Ha? Rangsel hilang semua!” teriak Budi.
“Kurang ajar. Ada maling!” kata Ekorejo sambil menghunus parang.
            Sekonyong-konyong, kami menyebar mencari rangsel yang dimaksud sambil mencari jejak kaki dan jejak barang yang tertinggal. Nol hasilnya. Tidak satu pun tanda ada sang pencuri.
Tiba-tiba, dari atas ada suara daun bergesekan. Kami mendongak ke atas.
“Itu tas kita,” kata Budi.
“Mana?”
“Itu dipegang kera,” jerit Triadmidi.
Sontak, kami semua mendongak seperti menghormat bendera tiang tinggi dari dekat. Ternyata, ada banyak kera berbuntut panjang dengan pongahnya memegangi rangsel kami. Ada lima rangsel yang mereka pegangi seakan kiriman makanan yang lezat baginya. Mereka terlihat tersenyum sambil mengoceh entah apa artinya.
            Kami mencari akal. Batu kanan kiri ludes kami ambil. Kami melempar seperti anak desa. Ternyata lemparan kami tanpa energi. Batas atas masih jauh dari sasaran. Tiba-tiba, teman kami melemparkan ranting besar dengan sekuatnya. Kena batang pohon sehingga menimbulkan suara keras. Kera berlarian. Rangsel berguguran. Tanpa diperintah. Rangsel kami periksa seperti polisi memeriksa surat kendaraan. Teliti sekali pemeriksaan itu. Tidak ada satupun kerusakan. Kami tersenyum bersama.
            Rangsel diikat jadi satu di batang pohon bagian bawah. Segera, kami mandi di Pantai Bama. Asyik juga ternyata di pantai tengah hutan tanpa ada satu pun orang. Kami semua mandi gaya tarzan dengan selembar celana dalam.
            Diskusi rute dijalankan. Pantai menjadi pos istirahat yang diberikan jam sangat panjang karena tidak berbahaya dengan ombak gadis romantis dengan rambut yang tergerai perlahan.
            Ini rute pengembaraan yang sangat bagus karena penuh tantangan. Tantangan alam dan tantangan hewan terbungkus dengan alamiah. Tantangan itulah yang memberikan daya dukung bagi kemenarikan pengalaman peserta yang sekaligus memberikan kemampuan tersendiri bagi peserta. Kemampuan pengamatan, cekatan, daya tanggap, dan tentunya kerja sama tim.
            Kami tidak bercerita kalau dikejar babi. Kami pun merahasiakan kalau rangsel sempat disenangi kera. Kami hanya mencatat sejumlah hewan yang ada di tengah perjalanan agar peserta berhati-hati.
            Esoknya, ada 500 penegak dibagi per kelompok berjalan menyusuri rute tali kuning. Mereka sangat senang. Meskipun, sesekali tangan peserta meraba sayatan semak. Mata memutar 180 derajat memburu tanda jejak. Bivak berjajar seperti tawon mengitari sarangnya di kanan kiri pos pantai. Kera heran sekali sambil memayungi bivak dari sisi pohon tinggi. Pantai Bama seakan menyambut dengan gembira. Ombak mendeburi badan para penegak. Pengembaraan yang asyik bagi penegak.

(((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((((

1 komentar:

Unknown mengatakan...

kirain dikejar someone gitu...he..he...keren Prof, cerpennya. cerita pramuka ya ?