Pagi-pagi, 6 Januari 2014, saya masuk ke kelas Media Pembelajaran yang diikuti oleh S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, PB angkatan 2012. Mahasiswa sudah siap berkuliah dengan duduk di kursi. Hanya saja, kursi kurang. Mahasiswa yang datang belakangan terpaksa mengambil kursi dari kelas sebelahnya. Untung saja, kelas sebelah belum ada perkuliahan karena dosennya tidak masuk. Betapa, bangku mengganggu perkuliahan. Bangku sebagai sarana penunjang pembelajaran turut mengganggu proses perkuliahan.
Lalu, poster yang difigura tergeletak di belakang seakan tidak terpakai. Padahal, figura itu berisi sumber belajar yang kuat bagi perkuliahan. Lagi-lagi, mahasiswa tidak tanggap akan perlunya figura itu dipajang. Kemudian, tembok seluas itu terlihat kosong tanpa isi gambar atau poster. Exposure kelas tidak bermakna sumber belajar. Betapa miskin sumber belajar kelas itu, pikir saya.
Pendingin kelas mati. Kaca kotor. Bangku rusak sebagian. LCD tidak ada. Semua itu tidak dirasakan oleh mahasiswa. Terlihat bahwa mahasiswa sangat pasif dan apa adanya. Padahal, jika sedikit kreatif, mahasiswa dapat menyiapkan perangkat itu karena di ruang jurusan semuanya tersedia. Lagi-lagi, sumber belajar tidak diusahakan oleh mahasiswa.
Sumber belajar memepunyai peran penting bagi kelengkapan dan ketercapaian tujuan perkuliahan. Namun, sumber belajar seakan diabaikan karena kebiasaan berkuliah yang berada pada situasi "kekeringan." Mahasiswa seharusnya mempunyai titik tanggap akan keperluan sendiri.
Kuliah tetap saja berjalan karena hari pertama masih bersifat orientasi materi. Namun, jika hari pertama mahasiswa sudah menyiapkan diri sebelumnya, perkuliahan akan lebih gayeng. Kegayengan tidak terjadi. Kepasifan muncul dengan sendirinya. Mahasiswa mencatat di binder yang berisi materi gado-gado. Mereka asyik dengan binder itu. Padahal, berkuliah dengan catatan gado-gado akan menurunkan konsentrasi sampai 50%.
Dengan sangat terpaksa, saya menuntut mahasiswa agar perkuliahan berikutnya disiapkan segala sumber belajar berdasarkan topik yang telah diberikan. Untungnya, mahasiswa menyanggupi hal itu. Bisa dibayangkan, pertemuan berikutnya akan berfungsi sumber belajar sebagai pengungkit keberhasilan pembelajaran.
Sumber belajar adalah penerjemah kebuntuan konsep yang diterima mahasiswa. Oleh karena itu, sumber belajar perlu dikemas agar perkuliahan mudah diikuti. Sumber belajar yang baik haruslah sumber yang akrab dengan peserta didik. Sumber belajar itu harus mudah dikembangkan ke dalam media pembelajaran. Alat yang mendukungnya juga harus seirama dengan tujuan perkuliahan.
Pada jam berikutnya, kelas A juga saya masuki. Kondisinya sama dengan di kelas PB. betapa sumber belajar tidak ditarik ke dalam penjiwaan dalam belajar. Mereka asyik dengan keterbatasan selama ini. Sumber belajar tampaknya perlu dipahami dengan seksama sehingga benar-benar menjadi sarana yang patut bagi ketercapaian tujuan.
1 komentar:
lalu, bagaimana cara kita untuk menyadarkan peserta didik untuk tidak terbiasa dalam kondisi kekeringan? apa memang harus diingatkan dan dipaksa? atau ada cara kreatif lainnya, Pak? Terima kasih.
Posting Komentar