Selasa, 30 September 2008

Guru di Mata Mbok Siti (24)

Tiba-tiba, seusai aku shalat Ied, doa baru saja aku lantangkan dalam hati, wajah Mbok Siti muncul kuat di depan mata dengan senyum khasnya. Aku terhenyak. Kupejamkan mata untuk mengisi hati. "Mbok, terimalah maaf tulusku", kata hatiku dibarengi air mata leleh pelan-pelan. Lalu, aku usap perlahan dengan napas yang kutahan. Aku bergegas meloncat dari masjid dan menderu ke satu tujuan. Rumah Mbok Siti.

Sepeda baru saja kuletakkan di latar teduh di bawah pohon mangga, tiba-tiba, Mbok Siti mendatangi dengan sangat cepat dan tanganku diraih. "Mohon maaf lahir batin, ya anakku", ucapnya tegas. Aku kaget. Ya... Kaget. Semestinya, akulah yang minta maaf dahulu. Hatiku menangis. Mengapa, aku yang mudah kalah cepat meminta maaf.

"Jangan menangis dan bersedih anakku hanya karena Mbok minta maaf lebih dahulu", ujarnya lirih. Meminta maaf merupakan kewajiban bagi siapa saja, termasuk Mbok Siti. Bukan berarti yang tua harus memaafkan tetapi juga harus dimaafkan. "Begitu pula, guru yang baik harus berani meminta maaf kepada murid-muridnya", katanya sambil mengajakku masuk ke dalam rumah. Maaf itu memang mudah diucapkan tetapi susah untuk dituluskan. Nah, guru yang berada dalam tingkat ketulusan kepada murid-muridnyalah yang memberikan kedamaian bagi dorongan prestasi muridnya. "Silakan, jajan ini dinikmati", kata Mbok Siti. Aku lihat, banyak tamu lain yang juga menikmati jajan sambil tersenyum melihatku. Aku pun menyalami semua tamu meski belum pernah aku kenal.

Tidak ada komentar: