Jumat, 28 April 2017

Mencari Akar Pendidikan Indonesia

Sebenarnya, ada nggak sih akar pendidikan Indonesia? Jawabnya, pasti ada akar pendidikan Indonesia. Alasannya, Indonesia merupakan negara yang dibangun dari sejarah budaya peradaban Indonesia yang konon sudah ada sejak lama, bahkan sebelum masehi. Tentu, dari sejarah budaya itu terdapat pendidikan yang dipakai untuk menularkan peradaban bagi generasi berikutnya oleh warga Indonesia waktu itu. Begitu pula, dahulu kala sudah ada kantong-kantong pendidikan bagi anak-anak raja yang dipersiapkan sebagai putera mahkota yang terdidik karena akan menjadi pengayom rakyatnya.
Siapakah yang mendidik Raja Mulawarman sehingga menjadi penguasa di negerinya? Siapa pula yang mendidik Raja di Kerajaan Sriwijaya sehingga mampu menjadi negara bahari yang unggul di waktu itu? Lalu, siapa pula yang mengajari Gajahmada menjadi seorang mahapatih yang ulung dan unggul menjaga bayangkara Majapahit? Bukankah tidak mungkin, sosok mereka itu datang tiba-tiba menjadi orang yang unggul. Mereka pastilah mengalami proses pendidikan sehingga menjadi tokoh yang ditokohkan oleh rakyatnya.
Jika proses pendidikan di waktu itu berjalan dengan baik, tentunya, pola pendidikan dapat dilihat dengan baik. Dalam proses pendidikan yang mereka jalani, pastilah ada tempat, metode, tujuan, dan mahaguru yang memegang tanggung jawab kurikulum pendidikannya. Dari situasi pendidikan peradaban masa lalu itulah, inti pendidikan yang khas Indonesia dapat dirumuskan.
Ketika waktu bergerak maju, muncul pula tokoh kerajaan seperti Raja Mataram, Sultan Fatahillah, Sisingamangaraja, Hasanudin, dan seterusnya. Tokoh itu tentu lahir dari proses pendidikan yang mantap dari pengasuhnya. Kemudian, Ki Hajar Dewantara di Jogjakarta, Imam Syafii di Bukit Tinggi, Nyi Ageng Serang di Banten, Kartini di Jepara, dan tokoh lainnya memberikan warna tersendiri terhadap pendidikan. Andai saja, pola mereka itu dirumuskan dengan jernih, tentu akan dihasilkan pola pendidikan yang mampu menyokong pendidikan khas Indonesia.
Selama ini, kita terlalu mudah mengadopsi pendidikan dari negara lain. Di permukaan memang negara yang diadopsi itu memunculkan keberhasilan. Namun, dari sisi budaya, adab, dan situasi lokus tentu ada yang memang tidak dapat diambil begitu saja. Negara itu bagus dalam pendidikan karena akar yang kuat sehingga model tersebut dapat mereka terapkan.
Oleh karena itu, sudah waktunya, Indonesia menjalani projek besar untuk merumuskan pendidikan yang berawal dari akar pendidikan bangsa sendiri. Kita perlu melakukan riset yang mendalam dan serius. Kemudian, hasilnya dapat menjadi tiang penyangga pendidikan di Indonesia.
Kita selama ini menganggap pendidikan model Ki Hajar Dewantara dianggap bagus namun kita tidak pernah secara serius menjalaninya sesuai dengan roh pendidikan Ki Hajar Dewantara. Seolah-olah, kita hanya mengambil butirnya saja tetapi tidak serta merta dengan budaya dan adabnya secara baik. Begitu pula, pola pendidikan yang khas lainnya di Indonesia hanya dianggap baik namun tidak ada niatan untuk menerapkan sepenuhnya. Ataukah kita memerlukan Revolusi Pendidikan Indonesia?

Selasa, 25 April 2017

Jangan Mencari Air Mata


Jangan Mencari Air Mata

Oleh Suyatno

Naiklah ke kebon para bapa
Pala, coklat, dan langsa
Semua ada
Tapi jangan mencari air mata
Lalu, berendamlah ke laut jernih
Tiada ombak udara bersih
Perahu menidurkan kekasih
Tapi jangan mencari air mata
Minumlah kelapa muda
Di lapak memandang panorama
Melantunkan lagu merdeka
Tapi jangan mencari air mata
Rasakan percik embun pertama
Para bapa mendaki kebon segera
Para mama masak di belakang rumah
Tapi jangan mencari air mata

Leihitu, 26 Mei 2015

Pingin Nulis tapi Malas Menulis

Banyak orang kepingin menjadi penulis namun keinginan itu hanya di bibir saja tanpa ditindaklanjuti ke dalam tulisan. Mereka berkoar-koar selama waktu bergulir dan sejauh mata memandang namun tak sekecil pun tulisan dibuatnya. Jika menjumpai orang yang demikian itu biarkan saja dan berilah cukup senyuman. Dia akan paham bahwa kelemahan menulis dirinya ditutupi oleh keinginan diri yang diceploskan tanpa direalisasikan.
Padahal, menulis itu sangat mudah kalau dijalani dengan mudah. Bagaimana menjalaninya? Ambil laptop tulis apa saja yang menjadi keinginanmu. Jangan takut salah agar waktu dapat termanfaatkan dengan baik. Gunakan coretan awal sebagai rambu-rambu titik pijak dalam menulis. Ingatlah bahwa tulisan itu tidak sekali jadi sehingga kita tidak boleh takut salah. Tulis saja idemu ke dalam laptop.
Jangan pernah berpikir di ujung, yakni jadi buku lalu dijual dan mendapatkan uang. Bagaimana bisa dijual, buku saja belum ada. Bagaimana mencetak buku, tulisan saja belum punya. Oleh karena itu, ujung awal yang sangat diperlukan, yakni terdapat sejumlah tulisan.
Lupakan yang lain dan inagttlah janji diri tentang menulis. Berangkatlah dari keinginan diri yang harus dibuktikan lewat tulisan bukan dibuktikan lewat omongan. Lebih baik ada kesalahan tulisan daripada belum ada sama sekali tulisan yang salah. Menulis itu tindakan bukan angan-angan.
Kapan pun orang dapat menulis. Saat memasak, seorang ibu rumah tangga dapat menulis melalui ocehan tentang sesuatu yang direkam di hape. Setelah longgar, ibu tersebut dapat menuliskannya. Tulis apa saja yang ada di suara rekaman. Jangan diedit dulu. Setelah semua dituliskan, sang ibu rumah tangga itu mengedit. Lama-kelamaan, tulisan menumpuk dan jika diedit dapat menjadi sebuah buku. Itulah yang sering dilakukan ibu penulis yang sambil mengelola rumah tangga.
Jadi, yang terpenting adalah melakukan penulisan. Kemudian, tidak boleh takut salah. Setelah ada tulisan, editlah dengan ikhlas. Berikan ke orang lain untuk memberikan masukan. Ikuti masukan teman Anda. Kemudian, beranilah menerbitkaan buku itu.
Jangan takut bukumu layak terbit atau tidak. Yang menentukan layak terbit atau tidak itu orang lain dengan jaminan tertentu berkaitan dengan isi tulisan. Bahkan, jika bagus, penerbit akan menerbitkan konsep bukumu dengan cdara cepat dan menyisihkan buku lain yang siap naik cetak. Jadi, jangan takut bukumu diterbitkan atau tidak. Yang terpenting adalah menulis dan menulis. Selamat menulis.

Rabu, 12 April 2017

Guru Demam Menulis Buku

Saat ini, banyak guru berlomba-lomba menerbitkan buku agar dapat dinikmati oleh guru atau orang lain. Mereka mengikuti berbagai pelatihan cara menulis buku agar dapat membuat buku layaknya penulis buku lainnya. Bahkan, jarak dan waktu dilompatinya demi terwujudnya sebuah buku. Uasaha itu tentu perlu diapresiasi dengan baik.
Namun, akankah buku-buku yang dihasilkan itu dapat memberikan inspirasi bagi pembacanya? Tentu, jawabnya belum dipastikan karena motivasinya adalah menerbitkan lebih dahulu hasilnya kemudian. Pembaca terinspirasi atau tidak bukan tujuan seorang penulis. Tujuan seorang penulis adalah menuangkan gagasan agar terjadi kelegaan diri.