Jumat, 14 Februari 2014

Poros Sastra Ketintang Jangan Hangat-Hangat Tahi Ayam

Biasalah, namannya letupan gagasan, pasti bergema keras mengalahkan samudera. Kehendaknya melebihi realitas fisik yang ada. Itulah gambaran untuk Poros Sastra Ketintang yang muncul setelah berkali-kali karya kreatif muncul dari lahan Unesa. Karya kreatif itu berupa puisi, cerpen, kritik sastra, desain buku, teater, dan sebagainya.

Semangat seperti itu sangat baik untuk mengawali sebuah ledakan gagasan. Hanya saja, jangan sampai gagasan besar itu meluruh di tengah jalan dimakan pergerakan jam dari menit ke menit. Justru, keajegan semangat yang mengalir secara apik perlu dijaga. Penjagaan yang harus dilakukan sebaiknya bersifat serius dan modern.

Banyak kasus berkembangnya sebuah gagasan yang sekarang meledak dan bertahan menghiasi dunia berawal dari ledakan gagasan anak-anak muda yang sebelumnya tidak berapa-apa. Contohnya, awal mula pembentukan majalah Tempo, Horison, dan lainnya. Nah, contoh seperti itu harus dijadikan cermin yang keras. Bahkan, contoh itu dijadikan pengingat sepanjang waktu.

Janganlah gagasan besar berujung kematian. Itu dapat digambarkan seperti hangat-hangat tahi ayam. Semangat pagi dikibarkan pada awal pemunculan tetapi selang beberapa bulan berubah menjadi semangat senja. Untuk itu, Garduguru menaruh hormat atas terbitnya "Kalimas" kembali sebagai majalah sastra yang muncul dari Surabaya dan berporos di Ketintang. Siapapun tahu, kalau Ketintang itu dihuni oleh maestro sastra, Budi Darma. Nama tersebut memang mempunyai daya magis. Lalu, "Kalimas" bernaung di payung Ketintang. Jadinya, keduanya menjadi klop. Hanya saja, perlu ditulis tebal, "jangan seperti hangat-hangat tahi ayam."

Majalah sastra sebagai pemicu kreativitas estetis anak bangsa masih sangat kurang jika dibandingkan dengan majalah lain yang berhedonis. Untuk itu, kedatangan "Kalimas" sebagai majalah sastra tentunya membawa udara menyejukkan. Dari majalah itu, kelak akan lahir pemikiran brilian yang mampu menjaga kebugaran budaya Indonesia. Majalah sastra "Kalimas" tentu mempunyai peran berat untuk mengangkut jiwa kosong anak Indonesia ke halte jiwa kuat yang berdimensi budaya. Selain itu, "Kalimas" harus mampu menembus para elite kebudayaan yang berpusar di Jakarta.

Fenomena manajemen saat ini lebih berakar pada "blue ocean" dan bukan "red ocean." Itu artinya, pergerakan kreativitas bukan berada di hadapan persaingan antarkreativitas lain tetapi justru berdampingan seperti perkawinan seorang pemuda dan pemudi. Kemajuan dibangun berdasarkan kebersamaan saling berbagi lintas lembaga. Kekalahan terjadi karena pertentangan dikotomis antara yang kuat dan yang lemah. Manajemen "blue ocean" berlari bersama-sama dalam muat angkut yang nyaris sama. Sinergitas yang dibangun berdasarkan asas damai untuk menuju titik sasaran.

Majalah "Kalimas" sebagai majalah sastra harus berdimensi "blue ocean" agar turut menyemarakkan keindahan berbagi. Gagasan besar yang dilemparkan ke pelataran budaya lewat bersastra pastilah mempunyai kesamaan, yakni untuk membangun peradaban keindonesiaan. Majalah "Kalimas" harus dengan bangga bervisi saling berbagi yang sinergis untuk membuncahkan kebudayaan asasi Indonesia. Selamat terbit untuk majalah "Kalimas."

Kamis, 06 Februari 2014

Kelas sebagai Sumber Belajar

Pagi-pagi, 6 Januari 2014, saya masuk ke kelas Media Pembelajaran yang diikuti oleh S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, PB angkatan 2012. Mahasiswa sudah siap berkuliah dengan duduk di kursi. Hanya saja, kursi kurang. Mahasiswa yang datang belakangan terpaksa mengambil kursi dari kelas sebelahnya. Untung saja, kelas sebelah belum ada perkuliahan karena dosennya tidak masuk. Betapa, bangku mengganggu perkuliahan. Bangku sebagai sarana penunjang pembelajaran turut mengganggu proses perkuliahan.

Lalu, poster yang difigura tergeletak di belakang seakan tidak terpakai. Padahal, figura itu berisi sumber belajar yang kuat bagi perkuliahan. Lagi-lagi, mahasiswa tidak tanggap akan perlunya figura itu dipajang. Kemudian, tembok seluas itu terlihat kosong tanpa isi gambar atau poster. Exposure kelas tidak bermakna sumber belajar. Betapa miskin sumber belajar kelas itu, pikir saya.

Pendingin kelas mati. Kaca kotor. Bangku rusak sebagian. LCD tidak ada. Semua itu tidak dirasakan oleh mahasiswa. Terlihat bahwa mahasiswa sangat pasif dan apa adanya. Padahal, jika sedikit kreatif, mahasiswa dapat menyiapkan perangkat itu karena di ruang jurusan semuanya tersedia. Lagi-lagi, sumber belajar tidak diusahakan oleh mahasiswa.

Sumber belajar memepunyai peran penting bagi kelengkapan dan ketercapaian tujuan perkuliahan. Namun, sumber belajar seakan diabaikan karena kebiasaan berkuliah yang berada pada situasi "kekeringan." Mahasiswa seharusnya mempunyai titik tanggap akan keperluan sendiri.

Kuliah tetap saja berjalan karena hari pertama masih bersifat orientasi materi. Namun, jika hari pertama mahasiswa sudah menyiapkan diri sebelumnya, perkuliahan akan lebih gayeng. Kegayengan tidak terjadi. Kepasifan muncul dengan sendirinya. Mahasiswa mencatat di binder yang berisi materi gado-gado. Mereka asyik dengan binder itu. Padahal, berkuliah dengan catatan gado-gado akan menurunkan konsentrasi sampai 50%.

Dengan sangat terpaksa, saya menuntut mahasiswa agar perkuliahan berikutnya disiapkan segala sumber belajar berdasarkan topik yang telah diberikan. Untungnya, mahasiswa menyanggupi hal itu. Bisa dibayangkan, pertemuan berikutnya akan berfungsi sumber belajar sebagai pengungkit keberhasilan pembelajaran.

Sumber belajar adalah penerjemah kebuntuan konsep yang diterima mahasiswa. Oleh karena itu, sumber belajar perlu dikemas agar perkuliahan  mudah diikuti. Sumber belajar yang baik haruslah sumber yang akrab dengan peserta didik. Sumber belajar itu harus mudah dikembangkan ke dalam media pembelajaran. Alat yang mendukungnya juga harus seirama dengan tujuan perkuliahan.

Pada jam berikutnya, kelas A juga saya masuki. Kondisinya sama dengan di kelas PB. betapa sumber belajar tidak ditarik ke dalam penjiwaan dalam belajar. Mereka asyik dengan keterbatasan selama ini. Sumber belajar tampaknya perlu dipahami dengan seksama sehingga benar-benar menjadi sarana yang patut bagi ketercapaian tujuan.